Monday, January 10, 2005

Perlakuan PPh atas stock option (3-habis)

Pajak & Bea Cukai
Senin, 10/01/2005

Perlakuan PPh atas stock option (3-habis)

Dari sudut pandang UU PPh Indonesia, timbul masalah dalam menentukan
apakah hak untuk membeli saham juga merupakan bagian dari imbalan sehubungan
dengan pekerjaan.
Sebagaimana telah disinggung dalam contoh pekan lalu, stock option
tidak termasuk dalam pengertian pemberian dalam bentuk natura.

Pasal 4 UU Pajak Penghasilan (PPh) memberi definisi "penghasilan"
sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun di luar Indonesia, yang
dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan.

Pemberian stock option saja tidak masuk dalam definisi tersebut karena
hak tersebut belum dapat dipakai untuk konsumsi. Tahapan setelah pemberian
hak opsi adalah melaksanakan opsi tersebut yaitu dengan memberikan hak
kepada karyawan untuk membeli saham.

Misalkan saja saham tersebut dibeli dengan harga dibawah harga pasar,
apakah perbedaan tersebut dapat diperlakukan sebagai imbalan atau sebagai
capital gain yang belum direalisasikan.

UU PPh tidak mengatur tentang masalah ini sehingga apabila hal ini
terjadi maka Indonesia tidak dapat memungut pajak atas jenis penghasilan
tersebut.

Masalah selanjutnya adalah, seandainya UU PPh mencakup situasi seperti
di dalam contoh di atas, masalah selanjutnya adalah bagaimana penagihan
terhadap pajak yang terutang tersebut.

Imbalan sehubungan dengan pekerjaan pengenaan pajaknya tunduk kepada
ketentuan Pasal 21, yaitu melalui pemotongan oleh pemberi kerja. Dalam
situasi yang disebutkan dalam contoh tersebut pemberi kerjanya adalah
"bentuk usaha tetap" (BUT), dengan asumsi bahwa kegiatan yang dilakukan oleh
ITALCO tersebut (Lihat uraian dalam contoh pekan lalu) menimbulkan BUT
sesuai dengan ketentuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Padahal pada saat penghasilan tersebut timbul BUT dari ITALCO sudah tidak
berada di Indonesia.

Pengkreditan pajak luar negeri juga merupakan masalah dalam situasi
yang dikemukakan di atas. Untuk lebih mudah penyajiannya, diambil contoh
situasi yang terbalik yaitu karyawannya adalah subjek pajak Indonesia,
misalkan saja Budiman yang ditempatkan di Roma untuk waktu delapan bulan
oleh PT PMA.

Seandainya Budiman menjual sahamnya setelah ia kembali ke Indonesia,
dan memperoleh keuntungan dari penjualan tersebut. Apabila keuntungan ini
dianggap sebagai bagian dari imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukannya di Italia maka hak pemajakannya berada di Italia.

Seandainya Italia dapat mengenakan pajak atas keuntungan tersebut, dan
pada saat Italia mengenakan pajak atas keuntungan tersebut maka Budiman
adalah wajib pajak Indonesia.

Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal 24 UU PPh, Budiman
berhak mengkreditkan pajak yang dipungut oleh Italia. Dalam situasi tersebut
akan terjadi timing mismatch antara pengenaan pajak dan pengakuan
penghasilan, dengan asumsi sebagaimana disebutkan di muka bahwa keuntungan
ini merupakan bagian dari imbalan pada saat Budiman bekerja di Roma.

Kesimpulan

Pemberian imbalan dalam rangka hubungan kerja dengan cara pemberian
hak opsi (stock option) untuk membeli saham, yang melibatkan dua negara yang
terikat suatu P3B menimbulkan masalah dalam kaitannya dengan menentukan
negara mana yang mempunyai hak pemajakan.

Hak pemajakan tersebut tergantung kepada penentuan masuk jenis
penghasilan apakah stock option tersebut. Pendekatan OECD dengan menambah
satu paragraf dalam Commentary dari Article 15, untuk menggolongkannya
sebagai penghasilan/imbalan dari hubungan kerja mungkin masih tidak cukup.

Tambahan penjelasan juga harus ditambahkan di Article 13 (capital
gains) yang kurang lebih menegaskan bahwa capital gains dari pengalihan
saham yang berasal dari stock option yang diberikan kepada eksekutif atau
karyawan lainnya.

Walaupun OECD juga mengusulkan perubahan dalam Article 23 untuk
mencakup situasi tersebut namun hal ini tetap akan menimbulkan masalah
karena terjadi timing mismatch.

Disamping itu penyesuaian Article 23 tergantung kepada ketentuan di
dalam undang-undang domestik masing-masing negara.

Kesulitan akan timbul dalam mengalokasikan penghasilan untuk satu
negara apabila situasi yang berkaitan dengan stock option tersebut
melibatkan lebih dari dua negara. Hal ini dapat terjadi apabila stock option
baru direalisasi setelah seseorang ditempatkan di beberapa negara.

Pemberian imbalan berupa stock option dari saham perusahaan yang
afiliasi mempunyai indikasi transfer pricing karena paket tersebut sangat
besar kemungkinan berkaitan dengan apa yang disebut dengan cost contibution
arrangements (CCA) diantara perusahaan-perusahaan dalam satu grup.

CCA pada dasarnya secara bersama menanggung biaya dan risiko dalam
pengembangan, produksi atau memperoleh aktiva, jasa atu hak-hak dan
menentukan besarnya kepemilikan masing-masing anggota terhadap aktiva atau
hak-hak tersebut.

Dari sudut pandang UU PPh, perlu diatur perlakuan pajak atas imbalan
berupa stock option yang menyangkut subjek pajak luar negeri. Disamping
memperluas pengertian imbalan dari hubungan kerja, juga perlu ditentukan
bagaimana imbalan tersebut dikenai pajak.

Oleh Rachmanto Surahmat
Partner
Prasetio, Sarwoko & Sandjaja Consult

0 Comments:

Post a Comment

<< Home