Wednesday, April 13, 2005

Heboh somasi Ditjen Pajak dan Republik Banana

Heboh somasi Ditjen Pajak dan Republik Banana

12 Apr 2005 11:35 WIB - klikpajak.com

Belum lama ini penulis disomasi oleh Direktur Administrasi Pajak atas nama
Dirjen Pajak beserta seluruh jajarannya. Pasalnya, karena penulis tidak
dapat membuktikan tentang apa yang ditulis dalam sebuah harian nasional.

Dalam artikel itu antara lain penulis kemukakan bahwa sebagai gambaran
sangat kasar, ketika membayar pajak atas dasar self assessment, Wajib Pajak
(WP) hanya membayar maksimal 50%. Karena ini praktik umum, aparat pajak
mengetahuinya.

Aparat pajak membuat perkiraan berapa yang 'ditimpa' dan mengenakan denda.
WP lantas kaget dan mengajak berunding. Jumlah yang disepakati, sebagai
hasil perundingan, dibayar oleh WP. Oknum aparat pajak bersangkutan
menyetorkannya ke kas negara maksimal hanya 50%.

Alhasil, kalau yang tercantum dalam APBN-sebagai pendapatan pajak
penghasilan dan pajak pertambahan nilai-sebesar misalnya Rp180 triliun,
mestinya yang menjadi hak negara dan tidak masuk ke kas negara ya sama
dengan jumlah itu.

Penulis lantas disomasi, diminta membuktikan dari sekian 70 juta WP itu,
satu per satu siapa, di mana, berapa yang dilaporkan, dan dibayar atas dasar
self assessment. Berapa yang sebenarnya harus dilaporkan dan dibayar, dan
berapa yang digelapkan. Juga diminta membuktikan satu per satu oknum aparat
pajak yang bernegosiasi, dengan siapa, jumlah berapa, dan berapa yang
ditilep oleh oknum bersangkutan.

Kalau tidak bisa membuktikan, dalam waktu tujuh hari sejak diterimanya surat
somasi, penulis harus minta maaf di sebuah harian nasional. Kalau tidak,
akan ditindak secara hukum. Artinya, penulis akan dituntut di pengadilan
dengan tuduhan mendiskreditkan Ditjen Pajak. Bayangkan kalau hal itu
terjadi!

Penulis akan diinterogasi berjam-jam, mungkin berhari-hari, dan akan
dihadapkan pada advokat. Penulis juga harus menyewa advokat dengan tarif
yang mahal, selain akan mondar-mandir ke polisi dan pengadilan, diajak
berargumentasi seperti pokrol yang menggunakan pasal-pasal hukum secara
juristerij.

Mana tahan? Ya minta maaflah. Eh, banyak orang ngenyek penulis. Mereka
mengatakan "Kwik Kian Gie keok, sudah jinak, dan sebagainya."

Penulis menyesal lupa mencantumkan dalam iklan penulis mohon kepada Tuhan
Yang Maha Esa agar memberi ampun dan maaf kepada penulis, tetapi juga kepada
siapa pun yang membuat heboh soal somasi tersebut, kalau dalam peristiwa itu
kelakuannya didasarkan atas kebohongan. Artinya, dalam bertindak dan
bersuara, dalam batinnya yang paling dalam dan hanya Tuhan yang tahu, yang
bersangkutan, siapa pun mereka, mungkin berbohong. Kalau kebohongan terjadi,
Tuhan hendaknya mengampuni mereka.

Asumsi, dugaan serta hitung-hitungan tersebut diketahui banyak orang.
Semuanya telah penulis uraikan dalam buku kecil berjudul Pemberantasan
Korupsi untuk meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan, dan Keadilan."

Buku kecil ini diterbitkan sebanyak 10.000 eksemplar pada Maret 2003. Karena
habis dan banyak permintaan, diterbitkan lagi edisi ke-2 sebanyak 10.000
eksemplar dan habis lagi.

Dalam buku tersebut semua yang ditulis di sebuah harian itu dan
mengakibatkan somasi, telah ditulis secara harafiah. Tetapi ketika itu tidak
apa-apa, walaupun telah dibicarakan dengan Presiden Abdurrahman Wahid,
Presiden Megawati Soekarnoputri, Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono, dan
Dirjen Pajak Hadi Purnomo.

Ini karena beliau-beliau itu mengerti bahwa maksud penulis mengemukakan
substansi tersebut untuk memecahkan masalah KKN yang dipastikan akan
menghancurleburkan bangsa ini melalui revolusi sosial yang dahsyat bila
tidak segera diambil langkah-langkah perbaikan.

Maksud memberi penjelasan bahwa biaya pemberantasan praktik KKN sangat
mahal. Ini karena harus menjatuhkan tindakan PHK terhadap banyak orang
dengan pesangon yang jumlahnya sangat besar. Untuk jelasnya bacalah buku itu
secara keseluruhan. Tidak ada maksud sedikit pun memojokkan atau
mendiskreditkan siapa pun.

Kasus di Republik Banana

Tetapi apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur. Jadi, sekarang penulis
jelaskan sekali lagi materi dan substansinya.

Untuk menghindari somasi lagi, dengan tegas penulis nyatakan bahwa yang akan
ditulis ini adalah kondisi dari negara yang bukan Republik Indonesia. Yang
digambarkan dalam tulisan ini adalah kondisi di negara lain, yang bernama
Republik Banana, bukan Republik Indonesia. Karena itu, di Indonesia tidak
perlu ada yang merasa tersinggung, terpojok, dan terdiskreditkan!

Republik Banana (selanjutnya disebut RB) termasuk negara yang paling korup
di dunia. Walau kekayaan alamnya melimpah, tanah luas, subur, dan dua per
tiganya terdiri dari laut yang kaya raya bahan makanan bergizi, bagian
terbesar dari rakyatnya sangat miskin.

Ini karena praktik korupsi di negara itu termasuk yang paling hebat di
dunia.

Di RB, ada yang mengemukakan pikiran untuk memberantas korupsi-melalui
penciptaan kondisi yang kondusif dan menyeluruh-dan setelah tanpa korupsi
semua penguasa dimungkinkan hidup mewah tanpa korupsi. Bila masih berani
korupsi, pelakunya dihukum mati.

Maksudnya membuat langkah dan tindakan yang melengkapi tindakan yang
kasuistis. Yaitu, mencari koruptor, mencari buktinya, dan divonis penjara
atau bebas. Kebanyakan bebas, ini karena mencari buktinya susah dan justru
karena korupsi, semua insan hukum memainkan hukumnya dengan juristerij atau
pokrol bambu.

Langkah-langkah itu sebagai berikut. Pertama, seluruh pemerintahan
(kementerian dan lembaga non-departemen) dibuat optimal, yaitu jumlahnya dan
uraian tugas pokok dan fungsinya dibuat pas dengan kebutuhan RB.

Kedua, setiap kementerian dan LPND dibuat optimal juga, yaitu jumlah Ditjen,
jumlah personalianya, dan uraian tugas pokok dan fungsinya dibuat pas untuk
kementerian dan LPND bersangkutan.

Ketiga, perbandingan gaji antara satu pejabat dan pejabat lainnya dibuat
adil. Tidak seperti sekarang, Presiden Republik Banana digaji Ps59 juta
sebulan (Ps adalah singkatan dari mata uang yang namanya Pisang) tetapi
presdir dari BUMN-nya digaji Ps300 juta tanpa ada yang mempermasalahkannya.

Keempat, setelah perbandingan gaji semua pegawai negeri sipil, tentara, dan
polisi dibuat adil betul, jumlahnya dinaikkan secara proporsional, sehingga
setiap pejabat yang memiliki kuasa bisa hidup mewah dan gagah. Jadi, tidak
saja cukup tetapi hidupnya sangat bergengsi. Maksudnya, supaya tidak ada
lagi alasan sedikit pun untuk melakukan korupsi. Kelima, kalau semuanya
sudah terjadi, yang masih berani berkorupsi dihukum mati.

Hukuman mati

Hukuman mati dapat dilakukan tanpa beban. Ini karena sudah tidak ada alasan
sedikit pun untuk melakukan korupsi. Cara menentukan apakah seorang korup
atau tidak juga tidak perlu njlimet. Dengan akal sehat saja seperti yang
dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari di negara-negara yang sudah maju.

Hukum ditafsirkan atas dua tonggak. Pertama, redelijkerwijze aan te nemen
atau menurut akal sehat dapat diterima bahwa yang bersangkutan memang
korupsi. Kedua, tonggak te goeder trouw atau menurut akal sehat ada itikad
baik atau tidak.

Semua ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Pertama dibutuhkan biaya yang
besar untuk melakukan studi agar tiba pada organisasi birokrasi yang
optimal.

Dalam melakukan rasionalisasi, banyak pegawai yang dikenakan PHK. Supaya
pesangon bagi pegawai yang dikenakan PHK menggiurkan, jumlahnya juga harus
sangat besar.

Dengan demikian, para pegawai tidak saja tidak keberatan bila dikenakan PHK
tetapi mereka justru ingin agar dikenakan PHK. Dari mana biaya tersebut
diperoleh? Dari utang terlebih dahulu.

Bila proyek pemberantasan korupsi ini berhasil 30% saja, pemerintah sudah
bisa memperoleh pendapatan tambahan sekitar Ps92 triliun setahun. Menurut
perhitungan sangat kasar dan atas dasar beberapa items saja, di Republik
Banana yang dikorup sudah sekitar Ps305,5 triliun. Perhitungannya akan
penulis berikan pada edisi ke-tiga dari buku yang sedang disiapkan.

Oleh Kwik Kian Gie
Mantan Menneg PPN/Kepala Bappenas

Bisnis Indonesia / Senin, 11 April 2005