Monday, January 31, 2005

Stock options dan masalah transfer pricing (3-habis)

www.bisnis.com

Stock options dan masalah transfer pricing (3-habis)

Berdasarkan uraian terdahulu, untuk dapat melakukan analisis transfer
pricing lebih baik diarahkan kepada karakteristik hubungan komersial dan
finansial antara PARENTCo dengan SUBSIDICo-1 dan SUBSIDICo-2 akibat SOP
tersebut.
Berdasarkan OECD Transfer Pricing Guidelines, hal yang perlu disimak untuk
menerapkan metode transfer pricing yaitu ciri-ciri dari program stock
options (SOP) yang diberikan; analisis fungsi; syarat-syarat dalam kontrak;
faktor ekonomis; dan strategi bisnis.

Kelima faktor tersebut untuk menentukan "comparability" dengan transaksi
yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Setelah dilakukan penyesuaian
agar "comparable", lalu dipilih metode transfer pricing yang dipakai.

Proses tersebut bukan hal mudah, karena harus melewati beberapa tahapan yang
mungkin tidak memberi jaminan bahwa kasus yang dihadapi "comparable". Letak
masalahnya adalah pada pembebanan oleh PARENTCo kepada SUBSIDICo dalam
rangka pemberian hak opsi kepada karyawan, apakah mencerminkan transaksi
arm's length atau minimal mendekatinya.

Salah satu cara untuk menentukannya adalah dengan membandingkannya dengan
transaksi independen. Maksudnya, apakah pembebanan biaya dalam rangka
transaksi itu kira-kira sama seandainya dilakukan pihak independen, dengan
cara menentukan nilai dari instrumen finansial, yakni mencari harga pasar
saham PARENTCo yang menjadi objek SOP. Pendekatan ini tidak dapat dilakukan
jika saham PARENTCo tidak diperdagangkan di bursa sehingga sulit untuk
melakukan perbandingan.

Pendekatan lain adalah membandingkan biaya yang dipikul PARENTCo sebagai
pihak yang menyediakan sahamnya dalam rangka SOP, dengan biaya yang
dikeluarkan oleh SUBSIDICo untuk mendapatkan saham dari PARENTCo seandainya
kedua perusahaan itu tidak mempunyai hubungan istimewa. Jika biaya untuk
memperoleh saham sudah didapat, tahap berikutnya menerapkan metode cost-plus
untuk menentukan biaya yang arm's length.

UU Pajak Penghasilan

Contoh kasus terdahulu hanya merupakan bagian kecil dari keseluruhan
pendekatan terhadap masalah tersebut. Hal itu untuk membuat perbandingan
dengan aturan-aturan yang ada dalam UU Pajak Penghasilan (PPh).

Pertanyaannya, apakah UU PPh sudah cukup mengatur perlakuan pajak berikut
cara pengenaannya?

Yang paling mendesak adalah memperbarui aturan perlaksanaan menyangkut
transfer pricing agar sesuai dengan OECD Guidelines mutakhir.

Pedoman menyangkut transfer pricing diterbitkan pada 1985, yang tidak
sepenuhnya mengacu kepada OECD Guidelines. Jika petunjuk pelaksanaan
penanganan transfer pricing sudah sesuai OECD Guidelines, aparat akan lebih
gampang menghadapi masalah ini.

Agar lebih jelas, kasus yang diuraikan terdahulu diberikan tambahan
informasi, misalnya PARENTCo adalah perusahaan yang berdomisili di Jepang,
SUBSIDICo-1 adalah anak perusahaan yang berdomisili di Singapura dan
SUBSIDICo-2 adalah anak perusahaan yang berkedudukan di Indonesia.

Pada saat John Doe ditugaskan sebagai karyawan di SUBSIDICo-2, yang disebut
belakangan ini dibebani dengan biaya (charges) karena PARENTCo memberikan
SOP kepada John Doe.

Di samping itu, John Doe untuk periode tertentu setiap tahun juga ditugaskan
di SUBSIDICo-1 (Singapura). Dalam masa penugasan tersebut, John Doe tidak
memperoleh imbalan dari SUBSIDI Co-1 tetapi dia tetap karyawan SUBSIDICo-2.

Jika masalah transfer pricing dalam kasus ini untuk sementara diabaikan,
beban yang dibayar kepada induk perusahaannya dilihat dari kacamata UU PPh,
dapat dikurangkan sebagai biaya karena memenuhi kriteria umum sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, yaitu biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan.

Dari sudut pandang SUBSIDICo-2, bagaimana perlakuan pembayaran kepada
PARENTCo tersebut dihubungkan dengan kewajibannya sebagai pemotong PPh.

Mengingat antara Indonesia dan Jepang ada P3B, untuk menentukan apakah biaya
tersebut dipotong PPh harus disimak P3B yang bersangkutan. Pertanyaan
pertama adalah masuk dalam kategori apakah pembayaran tersebut bagi
PARENTCo.

Dari sudut pandang jenis penghasilan sesuai dengan kategori P3B, imbalan
yang dibayar SUBSIDICo-2 bukan business profits. Yang paling mendekati,
imbalan tersebut masuk ke dalam "penghasilan lain-lain" karena tidak dapat
digolongkan ke dalam penghasilan-penghasilan yang penentuan hak pemajakannya
diatur di dalam P3B.

Yang paling mendekati adalah kelompok "penghasilan lain-lain", yang di dalam
P3B Indonesia-Jepang hanya akan dikenakan pajak di Jepang, dimana PARENTCo
berdomisili. Dengan demikian maka SUBSIDICo-2 tidak boleh memotong PPh sama
sekali.

Transaksi yang kedua adalah John Doe bekerja di dua perusahaan dari satu
grup, yang dalam transaksi tersebut SUDSIDICo-2 tidak menerima imbalan dalam
kaitannya dengan melepaskan John Doe untuk kepentingan SUBSIDICo-1.

Bagaimana perlakuan PPh-nya atas transaksi tersebut? Dapatkah DITJEN Pajak
menerapkan imputed income terhadap transaksi tersebut? Kalau jawabannya
positif, timbul masalah berapa penghasilan dari transaksi tersebut?

SUBSIDICo-2 mungkin saja terperangkap dalam masalah "bentuk usaha tetap
(BUT)" karena John Doe statusnya adalah karyawan dari SUBSIDICo-2 yang
berada di Singapura.

Keadaan ini dapat dianggap mewakili SUBSIDICo-2 sehingga perusahaan ini akan
dianggap mempunyai BUT di Singapura bila memenuhi tes waktu sebagaimana
diatur dalam Pasal 5(2)i dari P3B Indonesia-Singapura.

Masalah yang dihadapi Singapura dalam hal ini sama dengan Indonesia dalam
menentukan berapa penghasilan dari "BUT SUBSIDICo-2" dari kegiatan
memberikan jasa tersebut.

Dari situasi yang dikemukakan, tampak SOP yang dilancarkan PARENTCo kepada
John Doe, yang memperoleh manfaat tersebut bukan saja John Doe tetapi juga
SUBSIDICo-1 yang berdomisili di Singapura.

Kesulitan yang dikemukakan diatas disebabkan karena transaksi tersebut hanya
dilihat sepotong-sepotong sehingga pemecahan masalahnya juga tidak tepat
sasaran. Belum lagi jika ditinjau dari perlakuan PPh atas imbalan yang
diterima oleh John Doe dalam transaksi tersebut.

Masalah ini dapat dipecahkan melalui pendekatan dengan mengoptimalkan
jaringan P3B karena kasus tersebut melibatkan tiga yurisdiksi pajak yang
berbeda. Jika ketiga negara masuk dalam jaringan P3B, penanganannya akan
lebih mudah.

Pemanfaatan P3B secara maksimal perlu ditempuh melalui pertukaran informasi
yang sifatnya spontan, yakni informasi yang dikirim suatu negara yang
menyangkut wajib pajak negara lain sebagai hasil audit pajak yang dilakukan
oleh negara yang disebut pertama. Transaksi yang dijadikan studi kasus
tersebut hanya akan dapat dideteksi jika salah satu negara melakukan
pemeriksaan pajak sehingga transaksinya dapat diketahui.

Selama ini, pertukaran informasi hanya bertumpu kepada pertukaran informasi
yang sifatnya otomatis (automatic exchange of information), yang hanya
mencakup passive income. Pertukaran informasi jenis ini juga akan membantu
pengenaan pajak terhadap karyawan yang bersangkutan dari sudut pandang
remunerasi yang diterimanya.

Oleh Rachmanto Surahmat
Partner
Prasetio, Sarwoko & Sandjaja Consult

Monday, January 24, 2005

Stock options dan masalah transfer pricing (2)

www.bisnis.com

Stock options dan masalah transfer pricing (2)

Sebelum ditetapkan metoda transfer pricing yang akan dipakai, perlu
ditentukan apakah situasi yang dihadapi memenuhi dua syarat sebagaimana
diatur dalam Pasal 9 OECD Model, yang rumusannya sebagai berikut:
"Article 9 - Associated Enterprises
1. Where

An enterprise of a Contracting State participates directly or
indirectly in the management, control or capital of an enterprise of the
other Contracting State, or

The same persons participate directly or indirectly in the management,
control or capital of an enterprise of a Contracting State and an enterprise
of the other Contracting State,

And in either case conditions are made or imposed between two
enterprises in their commercial or financial relations which differ from
those which would be made between independent enterprises, then any profits
which would, but for those conditions, have accrued to one of the
enterprises, but, by reason of those conditions, have not so accrued, may be
included in the profits of the enterprise and taxed accordingly."

Ketentuan tersebut mengandung dua syarat untuk menerapkan metoda
transfer pricing dalam rangka menetapkan transaksi yang arm's length, yaitu
harus ada hubungan komersial atau finansial (commercial or financial
relations), dan syarat-syarat tertentu diciptakan dalam hubungan komersial
atau finansial.

Jika ketentuan itu dihubungkan dengan kasus yang disajikan, hubungan
komersial dan finansial antara PARENTCo dengan SUBSIDICo-1 dan SUBSIDICo-2
ada karena perusahaan induk tersebut mengadakan SOP (program stock option)
dengan syarat-syarat tertentu yang wajib dipenuhi oleh staf bersangkutan,
dan disetujui oleh SUBSIDICo-1 dan SUBSIDICo-2 untuk berpartisipasi di
dalamnya.

Dalam kasus yang disajikan sebelumnya, PARENTCo tidak akan bersedia
memberikan imbalan kepada karyawan yang bekerja untuk perusahaan lain
kecuali memperoleh keuntungan dari transaksi tersebut.

Karena itu, dalam hal PARENTCo bersedia memberikan hak opsi kepada
karyawan yang bekerja di SUBSIDICo-2 tanpa imbalan (atau kalaupun ada lebih
kecil dari jumlah yang arm's length), maka syarat kedua dari Pasal 9 diatas
juga dipenuhi.

Beberapa pertimbangan

Siapa yang memperoleh manfaat. Pertama-tama perlu ditentukan sesuai
kasus tersebut, siapa yang memperoleh manfaat dari transaksi. Jelas yang
memperoleh manfaat dari SOP adalah SUBSIDICo-2 yang mempekerjakan John Doe.

Namun, SUBSIDICo-1 mungkin juga memperoleh manfaat jika John Doe
selain secara struktural bertanggung jawab kepada SUBSIDICo-2 tetapi tetap
bertanggung jawab atas kinerja di SUBSIDICo-1.

Ini dapat saja terjadi jika SUBSIDICo-2 memberikan jasa kepada
SUBSIDICo-1 atau dalam hal dilakukannya penempatan bersama antara
SUBSIDICo-1 dan SUBSIDICo-2 atas John Doe.

Jadi misalnya SUBSIDICo-2 memberikan jasa kepada SUBSIDICo-1 dengan
mempekerjakan John Doe sebagai tokoh utama (sesuai dengan keahliannya).
Sedangkan dalam SOP yang disebutkan, John Doe adalah karyawan yang
memperoleh manfaat dari rencana tersebut.

Jika itu terjadi, untuk keperluan penerapan transfer pricing harus
disimak hubungan transaksi antara PARENTCo dengan dan SUBSIDICo-2 tempat
John Doe bekerja dan transaksi antara SUBSIDICo-2 dengan SUBSIDICo-1 dan
afiliasi yang lain.

Pembebanan yang ditagih oleh PARENTCo kepada SUBSIDICo-2 berkaitan
dengan pelaksanaan SOP kepada John Doe menjadi biaya dalam rangka pemberian
jasa kepada perusahaan afiliasi dalam grup tersebut. Jika begitu, siapa yang
menikmati transaksi SOP (di samping John Doe) menjadi tidak relevan lagi.

Pemberian jasa antarperusahaan afiliasi berkaitan dengan SOP tidak
dilakukan tetapi seorang atau lebih karyawan yang masuk dalam program SOP
bekerja untuk lebih dari satu perusahaan dalam grup.

PARENTCo kemudian mengalokasikan biaya kepada perusahaan afiliasi yang
terlibat dalam rangka SOP itu. Dalam hal ini, pengalokasian biaya harus
dikaitkan dengan imbalan yang seharusnya diterima karyawan bersangkutan
secara wajar.

Perbandingan dengan transaksi yang tidak dipengaruhi hubungan
istimewa. Salah satu kunci penting dalam penerapan metoda transfer pricing
adalah melakukan perbandingan transaksi yang sejenis dengan transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa.

Mencari perbandingan dengan transaksi yang independen berkaitan dengan
contoh terdahulu akan sulit karena seandainya transaksi itu ada, saham yang
dijadikan objek opsi adalah saham perusahaan yang mempekerjakan karyawan
bersangkutan.

Jika perusahaan itu adalah perusahaan publik, harga saham pada saat
opsi dilaksanakan akan mudah diketahui, tetapi jika bukan perusahaan publik,
nilainya tidak akan dapat diketahui dengan cepat.

Dengan demikian, tidak mungkin melakukan perbandingan dengan transaksi
yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa untuk transaksi berupa SOP.

Oleh Rachmanto Surahmat
Partner
Prasetio, Sarwoko & Sandjaja Consult

Tuesday, January 18, 2005

Pengantar Perpajakan Untuk Karyawan

Pengantar Perpajakan Untuk Karyawan.
Oleh : Triyani Budianto

Pendahuluan

Seiring dengan usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan tax ratio, sejak tahun 2000 pemerintah telah melakukan upaya ekstensifikasi dibidang perpajakan. Kegiatan Eksensifikasi dilakukan pemerintah antara lain dengan cara “memaksa” Wajib Pajak Orang Pribadi memiliki NPWP secara Sistem.

Sebagai wajib pajak kita harus memahami hak dan kewajiban kita dibidang perpajakan, agar tidak dirugikan. Namun dalam kenyataannya masih banyak Wajib Pajak yang belum memahami hak dan kewajiban perpajakannya. Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai karyawan. Dalam tulisan ini penulis bermaksud untuk memberikan gambaran awal mengenai hak dan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus Karyawan.

Kewajiban Untuk Mendaftarkan Diri Guna Memperoleh NPWP.

Mengapa harus mendaftarkan diri ?

Sebagaimana diatur dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan pasal 2 ayat (1) Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, apabila sampai dengan suatu bulan memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak setahun, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lambat pada akhir bulan berikutnya. Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban untuk mendaftarkan diri dapat diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Apa sanksinya jika Wajib Pajak tidak mau mendaftarkan diri ?

Jika Wajib Pajak dengan sengaja tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, akan terkena sanksi pidana. Yaitu pidana penjara paling lama enam (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Bagaimana cara untuk mendaftarkan diri ?

Jika anda ingin mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak untuk memperoleh NPWP karena kemauan anda sendiri, maupun karena anda mendapat surat himbauan untuk mendaftarkan diri dari KPP aka hal-hal yang harus dilakukan adalah sbb :

- Mendatangi Kantor Pelayanan Pajak setempat dan menghubungi petugas di loket pendaftaran.
- Mengisi dan menandatangani Formulir Pendaftaran yang telah disediakan.
- Melampirkan Fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi Penduduk Indonesia atau paspor di tambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang sekurang - kurangnya Lurah atau kepala desa bagi orang asing.
- Apabila permohonan ditandatangani oleh orang lain, harus dilengkapi dengan surat kuasa khusus.
- Apabila anda mendaftarkan diri karena mendapat surat himbauan dari Kantor Pajak, sebaiknya anda melampirkan salinan surat himbauan tersebut.
Meskipun dalam ketentuan Tata cara pendaftaran tidak disyaratkan agar melampirkan Surat Keterangan Kerja dan Kartu Keluarga, namun akan lebih baik apabila anda juga melampirkan surat keterangan kerja dari perusahaan tempat anda bekerja dan Kartu Keluarga anda. Hal ini karena terkadang terdapat petugas KPP yang meminta dokumen tersebut. Hal ini juga digunakan untuk memastikan bahwa anda benar merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai karyawan dan besarnya PTKP anda.
Setelah dokumen lengkap, paling lambat hari kerja berikutnya petugas KPP sudah harus menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar dan kartu NPWP.

Hak dan Kewajiban Setelah memperoleh NPWP

Apa yang harus dilakukan setelah memperoleh NPWP ?

Setelah memperoleh NPWP sebaiknya segera memberitahukan bagian personalia (bagian pajak) tempat anda bekerja agar NPWP anda dicatat bagian penggajian (pajak). Hal ini untuk memastikan bukti potong PPh 21 yang akan dibuat oleh perusahaan nantinya mencantumkan NPWP anda. Selain itu juga untuk memastikan Nama dan alamat yang tertera di bukti potong sama dengan nama dan alamat yang tertera dalam kartu NPWP anda.

Apakah Wajib Pajak Orang Pribadi yang bertatus sebagai karyawan juga harus membayar pajak sendiri dan melaporkan ke KPP setiap bulan ?

Jika anda merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai Karyawan maka anda TIDAK memiliki kewajiban untuk membayar pajak sendiri atas gaji yang anda peroleh setiap bulan. Anda juga tidak memiliki kewajiban untuk membuat laporan (SPT Masa) ke Kantor Pelayanan Pajak setiap bulan.

Perusahaan tempat anda bekerja memiliki kewajiban untuk memotong pajak atas gaji (penghasilan) yang dibayarkan kepada karyawannya setiap bulan dan menyetorkannya ke Kas Negara. Sehingga gaji yang dibayarkan kepada karyawan adalah gaji bersih setelah dipotong pajak penghasilan.

Laporan apa yang harus dibuat ?

Kewajiban yang harus dilakukan oleh WPOP yang berstatus sebagai karyawan adalah menyampaikan laporan tahunan (menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi) dengan formulir yang telah disediakan. (Form 1770-S).

Kapan SPT Tahunan tersebut harus disampaikan ke KPP ?

SPT Tahunan anda paling lambat harus dilaporkan pada tanggal 31 Maret tahun berikutnya.

Apa Sanksinya jika terlambat atau tidak melaporkan ?

Jika anda terlambat menyampaikan SPT 1770-S tersebut anda akan terkena sanksi administrasi atas keterlambatan tsb sebesar Rp 100.000,-

Setiap orang yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar, atau tidak lengkap, atau melampirkan keterngan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tingi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Setiap orang yang dengan sengaja tidak menyampaikan surat pemberitahuan atau menyampaikan surat pemberitahuan dan atau ketrengan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugaian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling lama enam (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Bagaimana cara membuat SPT Tahunan ?

SPT Tahunan bagi WPOP yang berstatus sebagai karyawan merupakan SPT Tahunan yang paling sederhana. Formulir SPT 1770-S terdiri dari :

1. Lembar Induk SPT yang terdiri dari 2 halaman. Halaman 1 lembar Identitas Wajib Pajak dan informasi tentang Total penghasilan dan total pajak terutang ; lembar 2 informasi tentang penghasilan yang telah dikenakan pajak secara final, daftar lampiran serta lembar pernyataan dan Tanda Tangan Wajib Pajak.
2. Lampiran I yang berisi rincian penghasilan netto dan daftar pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain serta PPh yang ditanggung pemerintah.
3. Lampiran II yang berisi Daftar Harta dan Kewajiban.

Agar dapat mengisi SPT 1770-S anda, sebelumnya anda harus memperoleh bukti pemotongan PPh 21 tahunan (Form 1721-A1) dari perusahaan tempat anda bekerja. Setelah anda memperoleh bukti potong pph 21 dari perusahaan, anda dapat mulai mengisi SPT tahunan anda berdasarkan data tsb.

Jika anda memperoleh penghasilan lain, selain dari tempat anda bekerja, anda juga harus melaporkan/menginformasikan penghasilan tsb dalam SPT anda.
Mengisi SPT 1770-S akan lebih mudah jika anda membaca buku petunjuk pengisian SPT 1770-S terlebih dahulu. Buku tersebut biasanya dikirimkan oleh KPP bersamaan dg form SPT 1770-S.

Setelah selesai mengisi SPT 1770-S, jangan lupa anda harus membubuhkan tanda tangan anda dibawah bagian pernyataan.

Selain formulir 1770-S, 1770S-I, 1770 S-II, anda juga harus melampirkan Fotocopi Formulir 1721 A1 dan Daftar susunan keluarga yang menjadi Tanggungan.

Setelah anda yakin SPT 1770-S anda telah lengkap, anda dapat menyampaikannya ke KPP setempat (dimana anda terdaftar) baik secara langsung maupun melalui kantor pos. [tri 0105]

Stock options dan masalah transfer pricing (1)

www.bisnis.com

Stock options dan masalah transfer pricing (1)

Pemberian hak untuk membeli saham yang diberikan kepada para karyawan
yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan, biasanya merupakan paket imbalan
dari suatu perusahaan multinasional.
Perusahaan multinasional biasanya beroperasi di beberapa negara yang
mempunyai sistem dan yurisdiksi pajak yang berbeda. Dari kacamata perusahaan
multinasional, program pemberian hak opsi membeli saham (stock options) yang
diberikan kepada para karyawannya merupakan suatu program yang menyeluruh
dalam arti disamping melibatkan anak-anak perusahaannya juga menyangkut
strategi bisnis dari grupnya.

Itulah sebabnya maka program pemberian hak opsi untuk membeli saham
sangat dekat dengan masalah transfer pricing.

Tulisan ini akan membahas masalah tersebut dengan catatan analisis
yang disajikan bukan merupakan upaya untuk memberikan pemecahannya dari segi
pajak.

Masalah ini diangkat untuk memperoleh perhatian dengan menyajikan
suatu pertanyaan apakah Undang-undang Pajak Penghasilan sudah cukup untuk
menangani masalah tersebut.

Yang disebut dengan menangani masalah transfer pricing dalam kaitannya
dengan pemberian hak opsi adalah apakah secara yuridis fiskal
ketentuan-ketentuan di dalam UU PPh sudah cukup lengkap untuk dihadapkan
pada masalah tersebut.

Analisis yang disajikan dalam kerangka hubungan sebagaimana diatur
dalam Article 9 OECD Model dan hak melakukan koreksi apabila transaksi
antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tidak mencerminkan arm's
length transaction.

Program pemberian hak opsi untuk memperoleh saham dibagi secara garis
besar menjadi dua jenis yaitu program yang disebut sebagai "dilutive stock
option plan" dan "non-dilutive option plan".

Yang dimaksud dengan dilutive option plan adalah pemberian hak
memperoleh saham baru, yaitu saham yang belum pernah diterbitkan dengan
syarat-syarat yang menguntungkan bagi karyawan yang berhak memperoleh hak
tersebut.

Sedangkan non-dilutive option plan adalah program pemberian hak
memperoleh saham yang sudah ada, dengan syarat yang menguntungkan juga.

Untuk lebih menyederhanakan analisis, ada beberapa perusahaan yang
terlibat yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan istimewa sebagaimana
diatur di dalam Pasal 9 OECD Model, yaitu PARENTCo, yang berdomisili di
Negara D, yang merupakan induk perusahaan dari suatu kelompok perusahaan
multinasional, SUBSIDICo-1, adalah anak perusahaan yang berdomisili di
Negara S, serta SUBSIDICo-2 yang berdomisili di Negara T.

Kasusnya adalah sebagai berikut:

John Doe adalah karyawan eksekutif yang bekerja di PARENTCo, yang
kemudian di tugaskan di SUBSIDICo-1. John Doe kemudian ditugaskan untuk
bekerja di SUBSIDICo-2 untuk jangka waktu tertentu, dan untuk itu dia diberi
hak untuk memperoleh saham dari PARENTCo yang sudah ada, di samping
remunerasi yang standar.

Pada saat PARENTCo memberi hak kepada John Doe, ditentukan harga yang
merupakan harga saham pada saat pemberian hak tersebut (strike price).
Apabila harga pasar dari saham tersebut pada saat hak itu dilaksanakan
(exercised) oleh John Doe harga yang harus dibayarnya tetap sama pada saat
dia diberi hak opsi.

Perlakuan pajak terhadap John Doe tidak dibahas dalam tulisan ini
karena sudah dibahas dalam tulisan terdahulu yang membahas perlakuan pajak
terhadap karyawan yang memperoleh hak opsi tersebut. Jadi pembahasan
dipusatkan pada perusahaan yang berada di dalam satu grup.

Masalah transfer pricing harus disimak pada transaksi antara PARENTCo,
SUBSIDICo-1 dan SUBSIDICo-2 karena ketiganya merupakan perusahaan-perusahaan
yang berada di grup yang sama.

Sebagaimana telah disebutkan di atas ketiganya memenuhi syarat sebagai
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa jadi apabila terjadi transaksi
antara perusahaan-perusahaan tersebut perlu diamati apakah transaksi
tersebut arm's length.

Ada beberapa transaksi yang perlu disimak, antara lain transaksi
antara PARENTCo dengan SUBSIDICo-1 karena anak perusahaan ini bersedia
melepaskan John Doe untuk dipekerjakan ke SUBSIDICO-2. Apakah dalam
transaksi tersebut SUBSIDICo memperoleh kompensasi dari PARENTCo?

Apabila stock option plan (SOP) yang dimaksud dilakukan antara
PARENTCo dengan John Doe perlu disimak bagaimana pembebanan dari biaya yang
timbul dari rencana tersebut.

Ditinjau dari masalah transfer pricing ada dua hal yang perlu disimak,
yaitu bagaimana pembebanan dari biaya tersebut ditangan SUBSIDICo-2 dan
apakah perusahaan ini memperoleh reimbursement dari PARENTCo, serta masalah
yang kedua adalah apakah besarnya pembebanannya dapat dikatakan arm's
length.

Dalam transaksi tersebut yang memperoleh manfaat, disamping John Doe
adalah SUBSIDICo-1 dan SUBSIDICo-2 dalam tingkatan yang berbeda. SUBSIDICo-1
mungkin memperoleh imbalan karena harus melepaskan John Doe, sedangkan
SUBSIDICo-2 memperoleh manfaat karena dapat menggunakan keahlian dan
pengalamannya untuk kinerja perusahaannya.

Pekan depan: Metoda transfer pricing

Oleh Rachmanto Surahmat
Partner
Prasetio, Sarwoko & Sandjaja Consult

Tuesday, January 11, 2005

PTKP Baru dan PPh 21 Tahun 2005

PENYESUAIAN BESARNYA PTKP DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PPh PASAL 21 TAHUN 2005
TRIYANI BUDIANTO *)

I. Abstrak

Pada tanggal 29 November 2004 Menteri keuagan telah mengesahkan Peraturan nomor 564/KMK.03/2004 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang berlaku sejak tahun pajak 2005. Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak telah disesuaikan dari waktu ke waktu. Hal ini untuk mengimbangi perkembangan perekonomian dan peningkatan besarnya kebutuhan pokok wajib pajak. Selain menyesuaikan besarnya PTKP, Pemerintah juga telah memberikan insentif dibidang PPh Pasal 21 yaitu dengan adanya Pajak penghasilan yang ditanggung Pemerintah.
Dengan berlakunya peraturan menteri keuangan tersebut, maka besarnya PPh pasal 21 yang terutang dan harus dibayar untuk tahun 2005 akan menjadi lebih kecil. Bagi karyawan yang PPh pasal 21-nya tidak ditanggung perusahaan maka perubahan PTKP ini akan meningkatkan besarnya take home pay yang akan diterima oleh karyawan yang bersangkutan. Sementara, bagi perusahaan yang memberikan tunjangan PPh Pasal 21 untuk karyawannya, maka akan mengurangi beban usaha. Hal ini tentu akan meningkatkan profit yang diperolehnya.

II. Pendahuluan

Berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat (3) Undang-undang No 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang No 17 tahun 2000, dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang Pribadi, diberikan pengurang berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Besarnya PTKP diatur dalam pasal 7 Undang-undang PPh. Besarnya Penghasilan Kena Pajak telah disesuaikan dari waktu ke waktu.
Pada saat berlakunya Undang-undang No 7 tahun 1983 (sebelum mengalami perubahan) sampai dengan setelah adanya perubahan pertama melalui undang-undang No 7 tahun 1991 besarnya PTKP adalah sebagai berikut :
- Rp. 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak;
- Rp. 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
- Rp. 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang istri yang mempunyai penghasilan dari usaha atau dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lain;
- Rp. 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap orang keluarga sedarah semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Perubahan/penyesuaian besarnya PTKP yang pertama kali dilakukan pada saat perubahan kedua undang-undang PPh, yaitu melalui undang-undang No 10 tahun 1994. Besarnya PTKP berdasarkan undang-undang No. 10 tahun 1994 adalah sebagai berikut :
- Rp 1.728.000,00 (satu juta tujuh ratus dua puluh delapan ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
- Rp. 864.000,00 (delapan ratus enam puluh empat ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
- Rp 1.728.000,00 (satu juta tujuh ratus dua puluh delapan ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
- Rp 864.000,00 (delapan ratus enam puluh empat ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

Dalam perubahan ketiga undang-undang Pajak Penghasilan (UU No 17 th 2000), besarnya PTKP kembali disesuaikan. Besarnya PTKP berdasarkan UU No 17 tahun 2000 adalah sebagai berikut :
- Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
- Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
- Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
- Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Sejak berlakunya undang-undang No 17 tahun 2000, besarnya PTKP tersebut sering menjadi “sorotan” banyak pihak. Hal ini mengingat besarnya kebutuhan hidup minimum (KHM) dan upah minimum yang terus mengalami kenaikan. Jika kita bandingkan besarnya upah minimum di DKI Jakarta misalnya, pada tahun 2001 sampai 2004 besarnya UMP DKI berturut-turut sebesar Rp 426.250,00 ; Rp 591.266,00 ; Rp 631.554,00 dan Rp 671.550,00 sedangkan besarnya PTKP hanya Rp 240.000/bulan (untuk diri Wajib Pajak). Besarnya PTKP tersebut dirasakan belum sesuai dengan perkembangan ekonomi dan semakin besarnya kebutuhan pokok wajib pajak.

III. Penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk tahun 2005
Usulan penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak telah dimasukkan dalam rancangan perubahan undang-undang pajak tahun 2004 yang diusulkan oleh pemerintah. Dalam berbagai seminar dan sosialisasi tentang Pokok-pokok perubahan undang-undang pajak, Pihak DJP menegaskan bahwa besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diusulkan adalah sebagai berikut :
- Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak
- Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
- Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
- Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 2 (dua) orang untuk setiap keluarga.
Semula usulan perubahan undang-undang pajak tahun 2004 oleh Direktorat Jenderal Pajak direncanakan akan dapat diberlakukan mulai tahun fiskal 2005. Namun demikian, saat ini Dirjen Pajak telah menarik kembali RUU Perpajakan yang sebelumnya telah diserahkan ke Sekretariat Negara untuk dimatangkan kembali dan diselaraskan dengan pengkajian mengenai pengampunan pajak. Meskipun ditarik kembali, Dirjen Pajak berharap agar reformasi paket perpajakan dapat diterapkan secara efektif mulai tahun fiskal 2006 (Bisnis Indonesia, Senin, 13 Desember 2004).
Sebelum usulan perubahan PTKP dalam RUU pajak tahun 2004 dapat diimplementasikan, Pemerintah (dalam hal ini menteri keuangan) telah mengesahkan Peraturan Menteri Keuangan No.564/KMK.03/2004 tgl 29 November 2004 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak. Hal ini dimungkinkan karena bedasarkan Undang-undang PPh diatur bahwa penyesuaian besarnya PTKP ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan (Pasal 7 ayat 3).
Penyesuaian besarnya PTKP tersebut dibuat dengan pertimbangan bahwa besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang selama ini berlaku dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan dibidang perekonomian dan moneter serta harga kebutuhan pokok yang semakin meningkat.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No-564/KMK.03/2004, Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak diubah menjadi :
- Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak
- Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
- Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
- Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Dari uraian tersebut diatas, kita dapat melihat bahwa besarnya PTKP yang akan berlaku sejak tahun 2005 hampir sama dengan besarnya PTKP yang diusulkan pemerintah melalui usulan perubahan undang-undang pajak. Perbedaan hanya terdapat pada banyaknya jumlah tanggungan untuk setiap keluarga. Dalam usulan perubahan undang-undang pajak diusulkan banyaknya tanggungan dalam setiap keluarga maksimum 2 (dua) orang. Sedangkan berdasarkan KMK-564/KMK.03/2004 banyaknya jumlah tanggungan dalam setiap keluarga adalah maksimum 3 (tiga) orang.

IV. PPh Ditanggung Pemerintah (PPh DTP).
Salah satu fasilitas yang diberikan pemerintah dibidang perpajakan, khususnya Pajak Penghasilan adalah adanya PPh Ditanggung Pemerintah (PPh DTP). Fasilitas tersebut dimaksudkan untuk mengurangi beban pekerja yang memperoleh “Upah Minimum”. Peraturan mengenai PPh DTP telah beberapa kali mengalami perubahan dan penyesuaian dari waktu ke waktu.
Semula Fasilitas PPh DTP ini diberikan kepada para pekerja yang memperoleh Upah sampai dengan sebesar Upah Minimum Regional. Hal ini diatur melalui PP No 12 tahun 1997 tanggal 7 Mei 1997 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang diterima pekerja sampai dengan sebesar Upah Minimum Regional. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut ditetapkan bahwa Pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh pekerja sampai dengan sebesar UMR ditanggung Pemerintah.
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah No 25 tahun 2000 Gubernur diberikan kewenangan untuk menetapkan besarnya Upah Minimum Propinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota setiap tahun. Sehubungan dengan kewenangan gubernur tersebut, Pemerintah Menetapkan PP No. 72 tahun 2001 pada tanggal 14 November 2001, yang mengatur tentang Pajak Atas Penghasilan yang diterima oleh Pekerja sampai dengan sebesar Upah Minimum Propinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota. Dengan berlakunya PP No 72 maka Peraturan Pemerintah No 12 tahun 1997 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang diterima pekerja sampai dengan sebesar Upah Minimum Regional dinyatakan tidak berlaku.
Berdasarkan PP No 72, Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh pekerja sampai dengan sebesar Upah Minimum Propinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota ditanggung pemerintah. Apaila Penghasilan yang diterima oleh pekerja melebihi jumlah Upah Minimum Propinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota, maka Pajak yang terutang atas seluruh penghasilan tersebut dihitung dan dibayar sesuai dengan ketentuan pasal 21 Undng-undang PPh.
Pada tanggal 20 Januari 2003 Pemerintah kembali merubah ketentuan mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang diterima oleh Pekerja sampai dengan sebesar Upah Minimum Propinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota melalui PP No 5 Tahun 2003. Dalam PP No No 5 tahun 2003 ini ditegaskan mengenai definisi pekerja dan upah sebagai berikut :
- Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja pada pengusaha dengan menerima upah.
- Upah adalah Hak Pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya.
Ketentuan lebih lanjut dari PP No 5 ini diatur melalui KMK No 70/KMK.03/2003 jo KEP-110/PJ./2003. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan tersebut, definisi pekerja diatur secara lebih khusus sebagai berikut :
- Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja didalam lingkungan kerja pada pengusaha dengan menerima upah hanya dari satu pemberi kerja yang tidak menduduki jabatan struktural atau fungsional dalam unit organisasi atau perusahaan dan tidak memperoleh penghasilan lain dari usaha, tidak termasuk tenaga kerja asing, tenaga ahli dan tenaga profesi
Sedangkan definisi Jabatan Sruktural dan Fungsional sebagaimana diatur dalam Lampiran KEP-110/PJ./2003 adalah jabatan yang memenuhi salah satu syarat sebagai berikut:
- Jabatan tersebut tercantum dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasai atau Perusahaan atau Akte Pendirian Organisasi atau Perusahaan, Akte Perubahannya, Atau dokumen lain, misalnya :
a. Komisaris termasuk Presiden Komisaris, Wakilnya dan Anggota Dewan Komisaris;
b. Direktur termasuk Presiden Direktur, Wakilnya dan Anggota Dewan Direksi lainnya.
- Jabatan tidak termasuk dalam jabatan sebagaimana pada butir 1 tetapi terdapat dalam Struktur Organisasi atau Perusahaan, misalnya :
a. Manajer termasuk Assisten Manajer, Wakil Manajer, Junior Manajer atau sejenisnya;
b. Kepala atau Pimpinan: Suatu Bagian, Departemen, Divisi, atau sejenisnya, misalnya: Manajer Cabang, Chief Officer, Chief Supervisor, Chief Maintenance, Chief Production, atau sejenisnya;
c. Pimpinan atau Ketua Organisasi, Wakil ketua, Deputi Pimpinan Organisasi, termasuk Kepala Divisi, Kepala Bagian, Kepala Seksi, Kepala bidang, atau sejenisnya.
Berdasarkan PP No 5 tahun 2003 beserta petunjuk pelaksanaannya maka Pekerja yang memiliki hak atas fasilitas PPh Ditanggung Pemerintah adalah Pekerja yang memperoleh upah hanya dari satu pemberi kerja dan tidak menduduki jabatan struktural atau fungsional. Besarnya PPh terutang dihitung sebagai berikut :
1. Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh pekerja dihitung dari penghasilan neto untuk pegawai tetap dan penghasilan bruto untuk pegawai tidak tetap, setelah dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dengan menerapkan tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan.
2. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh Pemerintah adalah sebesar Pajak Penghasilan atas penghasilan sampai dengan sebesar Upah Minimum Provinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota setelah dikurangi dengan PTKP.
3. Pajak Penghasilan yang wajib dipotong atas penghasilan pekerja adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
4. Dalam hal penghasilan netto yang diterima oleh pegawai tetap atau dalam hal penghasilan bruto yang diterima oleh pegawai tidak tetap ternyata lebih kecil dari Upah Minimum Provinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota, maka Pajak Penghasilan yang ditanggung Pemerintah adalah sebesar Pajak Penghasilan
Dalam rangka upaya memperbaiki dan meningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya kelompok pekerja yang berada pada lapisan bawah, pada tanggal 21 September 2003 pemerintah kembali menetapkan peraturan tentang Pajak penghasilan yang ditanggung pemerintah melalui PP No 47 Tahun 2003. Peraturan pemerintah tersebut berlaku surut sejak bulan Juli 2003. Dengan berlakunya PP No 47 tentang Pajak Penghasilan yang ditanggung Pemerintah atas penghasilan pekerja dari pekerjaan maka PP No 5 Tahun 2003 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang diterima oleh Pekerja sampai dengan Upah minimum Propinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota tidak berlaku.
Berdasarkan PP 47 tahun 2003 ini, Pekerja yang mendapat perlakuan Pajak Penghasilan yang ditanggung Pemerintah adalah Wajib Pajak Orang Pribadi dalam Negeri yang bekerja sebagai Pegawai tetap atau Pegawai tidak tetap pada satu pemberi kerja di Indonesia yang menerima gaji, upah serta imbalan lainnya dari pekerjaan yang diberikan dalam bentuk uang sampai dengan sebesar Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 47 ini, pekerja yang berhak atas fasilitas PPh ditanggung pemerintah tidak lagi dibedakan berdasarkan jabatan pekerja.
Besarnya Pajak Penghasilan yang ditanggung Pemerintah adalah pajak yang terutang atas gaji, upah serta imbalan lainnya dari pekerjaan yang diterima oleh pekerja sampai dengan Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).

V. Perhitungan PPh 21 tahun 2004 vs tahun 2005
Dalam menghitung besarnya PPh pasal 21 terutang tahun 2004, kita masih berpedoman pada KEP-545/PJ./2000 tentang petunjuk pelaksanaan pemotongan, penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi. Disamping itu juga terdapat Fasilitas PPh ditanggung Pemerintah berdasarkan PP No 47 Tahun 2003 Jo KMK 486/KMK.03/2003.
Contoh Perhitungan PPh Pasal 21 (Th 2004) :
1. Saefudin adalah pegawai tetap di PT Insan Selalu Lestari. Ia memperoleh gaji beserta tunjangan berupa uang sebulan sebesar Rp 1.400.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 25.000,00 sebulan. Saefudin menikah tetapi belum mempunyai anak (status K/0).

a. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang :
Gaji dan tunjangan sebulan Rp 1.400.000,00
Pengurangan :
Biaya jabatan (5% x Rp 1.400.000,00) Rp 70.000,00
Iuran Pensiun Rp 25.000,00
Rp 95.000,00
Penghasilan Neto sebulan Rp 1.305.000,00
Penghasilan neto setahun 12 x Rp 1.305.000,00 Rp 15.660.000,00
PTKP setahun :
- untuk WP sendiri Rp 2.880.000,00
- tambahan WP kawin Rp 1.440.000,00
Rp 4.320.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 11.340.000,00
PPh Pasal 21 terutang setahun :
5% x Rp 11.340.000,00 Rp 567.000,00
PPh Pasal 21 terutang sebulan Rp 47.250,00

b. Penghitungan PPh Pasal 21 ditanggung oleh Pemerintah :
Penghasilan sebulan ditanggung oleh Pemerintah Rp 1.000.000,00
Pengurangan :
Biaya jabatan (5% x Rp 1.000.000,00) Rp 50.000,00
Iuran Pensiun Rp 25.000,00
Rp 75.000,00
Penghasilan Neto sebulan : Rp 925.000,00
PTKP sebulan :
- untuk WP sendiri Rp 240.000,00
- tambahan WP kawin Rp 120.000,00
Rp 360.000,00
Penghasilan Kena Pajak sebulan Rp 565.000,00
PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah sebulan :
5% x Rp 565.000,00 Rp 28.250,00
c. PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh Pemberi Kerja Rp 47.250,00 - Rp 28.250,00 Rp 19.000,00

2. Mariko Hutadjulu adalah pegawai tetap di PT Tiurmas Lampung Indah. Ia memperoleh gaji bulan Desember sebesar Rp 1.200.000,00, menerima THR sebesar Rp 600.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 25.000,00 sebulan. Mariko Hutadjulu menikah tetapi belum mempunyai anak (status K/0).

a. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang :
1) PPh atas Gaji dan THR
Gaji setahun (12 x Rp1.200.000,00) Rp 14.400.000,00
THR Rp 600.000,00
Total Penghasilan setahun Rp 15.000.000,00
Pengurangan :
Biaya jabatan (5 % x Rp 15.000.000,00) Rp 750.000,00
Iuran Pensiun (12 x Rp 25.000,00) Rp 300.000,00
Rp 1.050.000,00
Rp 13.950.000,00
Penghasilan Neto
PTKP setahun :
- untuk WP sendiri Rp 2.880.000,00
- tambahan WP kawin Rp 1.440.000,00
Rp 4.320.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 9.630.000,00
PPh Pasal 21 terutang setahun :
5% x Rp 9.630.000,00 Rp 481.500,00
PPh Pasal 21 terutang sebulan atas Gaji dan THR Rp 40.125,00
2) PPh Pasal 21 atas Gaji
Gaji Rp 1.200.000,00
Pengurangan :
Biaya jabatan (5% x Rp 1.200.000,00) Rp 60.000,00
Iuran Pensiun Rp 25.000,00
Rp 85.000,00
Penghasilan Neto sebulan Rp 1.115.000,00
Penghasilan neto setahun 12 x Rp 1.115.000,00 Rp 13.380.000,00
PTKP setahun :
- untuk WP sendiri Rp 2.880.000,00
- tambahan WP kawin Rp 1.440.000,00
Rp 4.320.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 9.060.000,00
PPh Pasal 21 terutang setahun :
5% x Rp 9.060.000,00 Rp 453.000,00
PPh Pasal 21 terutang sebulan atas gaji Rp 37.750,00
3) PPh atas THR
(Rp 481.500,00 - Rp 453.000,00) Rp 28.500,00

b. Penghitungan PPh Pasal 21 ditanggung oleh Pemerintah :
Penghasilan sebulan ditanggung oleh Pemerintah Rp 1.000.000,00
Pengurangan :
Biaya jabatan (5% x Rp 1.000.000,00) Rp 50.000,00
Iuran Pensiun Rp 25.000,00
Rp 75.000,00
Penghasilan Neto sebulan : Rp 925.000,00
PTKP sebulan :
- untuk WP sendiri Rp 240.000,00
- tambahan WP kawin Rp 120.000,00
Rp 360.000,00
Penghasilan Kena Pajak sebulan Rp 565.000,00
PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah sebulan :
5% x Rp 565,000,00 Rp 28.250,00
c. PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh Pemberi Kerja
= Rp 37.750,00 + Rp 28.500,00 - Rp 28.250 = Rp 38.000,00

3. Gunarto adalah pegawai tetap di PT Jawa Sumatera Cemerlang. Ia memperoleh gaji bulan Desember sebesar Rp 12.000.000,00, dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 250.000,00 sebulan. Sudir Gunanto telah menikah dengan tanggungan 3 anak.

a. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang :
Gaji dan tunjangan sebulan Rp 12.000.000,00
Pengurangan :
Biaya jabatan (5% x Rp 12.000.000,00) Rp 108.000,00
Iuran Pensiun Rp 250.000,00
Rp 358.000,00
Penghasilan Neto sebulan Rp 11.642.000,00
Penghasilan neto setahun 12 x Rp 11.642.000,00 Rp 139.704.000,00
PTKP setahun :
- untuk WP sendiri Rp 2.880.000,00
- tambahan WP kawin Rp 1.440.000,00
- Tanggungan 3 Rp 4.320.000,00
Rp 8.640.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 131.064.000,00
PPh Pasal 21 terutang setahun : Rp 19.016.000,00
PPh Pasal 21 terutang sebulan Rp 1.584.667,00
c. PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh Pemberi Kerja Rp 1.584.667,00
d. Take Home Pay Rp 10.165.333,00

Dengan berlakunya KMK No 564/KMK./2004 tentang Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak maka terhitung sejak tahun pajak 2005 besarnya PTKP menjadi sebagai berikut :
- Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak
- Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
- Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
- Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Besarnya PTKP minimum (untuk diri WP) berdasarkan KMK 564 tersebut adalah sama dengan batas Penghasilan yang pajaknya ditanggung oleh pemerintah. Oleh karena itu meskipun sampai saat ini (saat tulisan ini dibuat-red) ketentuan mengenai PPh Ditanggung pemerintah (PP No 47 th 2003) belum dicabut, namun dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan No 564/KMK.03/2004 maka PP No 47 tahun 2003 tersebut secara otomatis menjadi “tidak berfungsi”.
Contoh perhitungan PPh Pasal 21 tahun 2005 :
1. . Saefudin adalah pegawai tetap di PT Insan Selalu Lestari. Ia memperoleh gaji beserta tunjangan berupa uang sebulan sebesar Rp 1.400.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 25.000,00 sebulan. Saefudin menikah tetapi belum mempunyai anak (status K/0).

a. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang :
Gaji dan tunjangan sebulan Rp 1.400.000,00
Pengurangan :
Biaya jabatan (5% x Rp 1.400.000,00) Rp 70.000,00
Iuran Pensiun Rp 25.000,00
Rp 95.000,00
Penghasilan Neto sebulan Rp 1.305.000,00
Penghasilan neto setahun 12 x Rp 1.305.000,00 Rp 15.660.000,00
PTKP setahun :
- untuk WP sendiri Rp 12.000.000,00
- tambahan WP kawin Rp 1.200.000,00
Rp 13.200.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 2.460.000,00
PPh Pasal 21 terutang setahun :
5% x Rp 2.460.000,00 Rp 123.000,00
PPh Pasal 21 terutang sebulan Rp 10.250,00
b. Penghitungan PPh Pasal 21 ditanggung oleh Pemerintah :
Penghasilan sebulan ditanggung oleh Pemerintah Rp 1.000.000,00
Pengurangan :
Biaya jabatan (5% x Rp 1.000.000,00) Rp 50.000,00
Iuran Pensiun Rp 25.000,00
Rp 75.000,00
Penghasilan Neto sebulan : Rp 925.000,00
PTKP sebulan :
- untuk WP sendiri Rp 1.000.000,00
- tambahan WP kawin Rp 100.000,00
Rp 1.100.000,00
Penghasilan Kena Pajak sebulan Rp -

c. PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh Pemberi Kerja Rp 10.250,00

2. Mariko Hutadjulu adalah pegawai tetap di PT Tiurmas Lampung Indah. Ia memperoleh gaji bulan Desember sebesar Rp 1.200.000,00, menerima THR sebesar Rp 600.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 25.000,00 sebulan. Mariko Hutadjulu menikah tetapi belum mempunyai anak (status K/0).

a. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang :
1) PPh atas Gaji dan THR
Gaji setahun (12 x Rp1.200.000,00) Rp 14.400.000,00
THR Rp 600.000,00
Total Penghasilan setahun Rp 15.000.000,00
Pengurangan :
Biaya jabatan (5 % x Rp 15.000.000,00) Rp 750.000,00
Iuran Pensiun (12 x Rp 25.000,00) Rp 300.000,00
Rp 1.050.000,00
Penghasilan Neto Rp 13.950.000,00
PTKP setahun :
- untuk WP sendiri Rp 12.000.000,00
- tambahan WP kawin Rp 1.200.000,00
Rp 13.200.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 750.000,00
PPh Pasal 21 terutang setahun :
5% x Rp 750.000,00 Rp 37.500,00
PPh Pasal 21 terutang sebulan atas Gaji dan THR Rp 3.125,00
2) PPh Pasal 21 atas Gaji
Gaji Rp 1.200.000,00
Pengurangan :
Biaya jabatan (5% x Rp 1.200.000,00) Rp 60.000,00
Iuran Pensiun Rp 25.000,00
Rp 85.000,00
Penghasilan Neto sebulan Rp 1.115.000,00
Penghasilan neto setahun 12 x Rp 1.115.000,00 Rp 13.380.000,00
PTKP setahun :
- untuk WP sendiri Rp 12.000.000,00
- tambahan WP kawin Rp 1.200.000,00
Rp 13.200.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 180.000,00
PPh Pasal 21 terutang setahun :
5% x Rp 180.000,00 Rp 9.000,00
PPh Pasal 21 terutang sebulan atas gaji Rp 750,00
3) PPh atas THR
(Rp 37.500,00 - Rp 9.000,00) Rp 28.500,00
b. Penghitungan PPh Pasal 21 ditanggung oleh Pemerintah :
Penghasilan sebulan ditanggung oleh Pemerintah Rp 1.000.000,00
Pengurangan :
Biaya jabatan (5% x Rp 1.000.000,00) Rp 50.000,00
Iuran Pensiun Rp 25.000,00
Rp 75.000,00
Penghasilan Neto sebulan : Rp 925.000,00
PTKP sebulan :
- untuk WP sendiri Rp 1.000.000,00
- tambahan WP kawin Rp 100.000,00
Rp 1.100.000,00
Penghasilan Kena Pajak sebulan Rp NIHIL
PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah sebulan : --
c. PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh Pemberi Kerja
= Rp 750,00 + Rp 28.500,00 - Rp 0 = Rp 29.250,00

3. Gunarto adalah pegawai tetap di PT Jawa Sumatera Cemerlang. Ia memperoleh gaji bulan Desember sebesar Rp 12.000.000,00, dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 250.000,00 sebulan. Sudir Gunanto telah menikah dengan tanggungan 3 anak.
a. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang :
Gaji dan tunjangan sebulan Rp 12.000.000,00
Pengurangan :
Biaya jabatan (5% x Rp 12.000.000,00) Rp 108.000,00
Iuran Pensiun Rp 250.000,00
Rp 358.000,00
Penghasilan Neto sebulan Rp 11.642.000,00
Penghasilan neto setahun 12 x Rp 11.642.000,00 Rp 139.704.000,00
PTKP setahun :
- untuk WP sendiri Rp 12.000.000,00
- tambahan WP kawin Rp 1.200.000,00
- Tanggungan 3 Rp 3.600.000,00
Rp 16.800.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 122.904.000,00
PPh Pasal 21 terutang setahun : Rp 16.976.000,00
PPh Pasal 21 terutang sebulan Rp 1.414.667,00
c. PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh Pemberi Kerja Rp 1.414.667,00
d. Take Home Pay Rp 10.335.333,00



VI. Penutup
Meskipun RUU PPh tahun 2004 belum dapat diberlakukan mulai tahun Pajak 2005, namun langkah pemerintah untuk tetap memberlakukan kenaikan PTKP yang telah diusulkan dalam RUU melalui Peraturan Menteri Keuangan merupakan langkah yang sangat positif. Hal ini tentu harus kita apresiasi.
Beberapa hal yang dapat kita simpulkan dengan diberlakukannya PMK-564/KMK.03/2004 antara lain sebagai berikut :
1. Dengan adanya penyesuaian besarnya PTKP tahun 2005 secara otomatis telah mengeliminir PPh ditanggung Pemerintah. Oleh karena itu dalam menghitung PPh Pasal 21 tahun 2005 kita “tidak perlu” memperhitungkan besarnya PPh ditanggung Pemerintah.
2. Dengan adanya penyesuaian PTKP menjadi sebesar Rp 12.000.000,00/tahun untuk diri Wajib Pajak, maka Karyawan yang memperoleh penghasilan sampai dengan Rp 1.000.000,00/bulan belum memiliki kewajiban untuk mendaftarkan diri guna memperoleh NPWP.
3. Penyesuaian PTKP tersebut akan meringankan beban pajak bagi karyawan yang PPh-nya dipotong dari gaji, sehingga Take home pay yang diterima menjadi lebih besar.
4. Bagi perusahaan yang memberikan tunjangan PPh pasal 21 kepada karyawannya, penyesuaian PTKP tersebut akan mengurangi beban perusahaan. Hal ini tentu akan meningkatkan laba yang diperoleh perusahaan.

Daftar Pustaka
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-110/PJ./2003 tanggal 14 April 2003 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan yang Diterima oleh Pekerja Sampai Dengan Sebesar Upah Minimum Propinsi Atau Upah Minimum Kabupaten/Kota.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2003 tanggal 30 Oktober 2003 tentang Pajak Penghasilan yang ditanggung Pemerintah atas Penghasilan Pekerja dari Pekerjaan.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 70/KMK.03/2003 tanggal 17 Pebruari 2003 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan yang Diterima oleh Pekerja Sampai Dengan Sebesar Upah Minimum Propinsi Atau Upah Minimum Kabupaten/Kota.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 tanggal 29 November 2004 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2003 tanggal 21 September 2003 tentang Pajak Penghasilan yang Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan Pekerja dari Pekerjaan.
Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2003 tanggal 20 Januari 2003 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang Diterima oleh Pekerja Sampai Dengan Sebesar Upah Minimum Propinsi Atau Upah minimum Kabupaten/Kota.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2001 tanggal 14 November 2001 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan yang Diterima oleh Pekerja Sampai Dengan Sebesar Upah Minimum Propinsi Atau Upah Minimum Kabupaten/Kota.
Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 1997 tanggal 7 Mei 1997 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan yang Diterima oleh Pekerja Sampai Dengan Sebesar Upah Minimum Regional.
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 17 tahun 2000.
Tim Modernisasi Perpajakan, Oktober 2004, Bahan Sosialisasi RUU Pajak Penghasilan.

*) Artikel ini dimuat di Majalah Jurnal Perpajakan Indonesia Volume 4 Nomor 4 bulan Januari 2005 (hal 8 - 18)

Monday, January 10, 2005

Perlakuan PPh atas stock option (3-habis)

Pajak & Bea Cukai
Senin, 10/01/2005

Perlakuan PPh atas stock option (3-habis)

Dari sudut pandang UU PPh Indonesia, timbul masalah dalam menentukan
apakah hak untuk membeli saham juga merupakan bagian dari imbalan sehubungan
dengan pekerjaan.
Sebagaimana telah disinggung dalam contoh pekan lalu, stock option
tidak termasuk dalam pengertian pemberian dalam bentuk natura.

Pasal 4 UU Pajak Penghasilan (PPh) memberi definisi "penghasilan"
sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun di luar Indonesia, yang
dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan.

Pemberian stock option saja tidak masuk dalam definisi tersebut karena
hak tersebut belum dapat dipakai untuk konsumsi. Tahapan setelah pemberian
hak opsi adalah melaksanakan opsi tersebut yaitu dengan memberikan hak
kepada karyawan untuk membeli saham.

Misalkan saja saham tersebut dibeli dengan harga dibawah harga pasar,
apakah perbedaan tersebut dapat diperlakukan sebagai imbalan atau sebagai
capital gain yang belum direalisasikan.

UU PPh tidak mengatur tentang masalah ini sehingga apabila hal ini
terjadi maka Indonesia tidak dapat memungut pajak atas jenis penghasilan
tersebut.

Masalah selanjutnya adalah, seandainya UU PPh mencakup situasi seperti
di dalam contoh di atas, masalah selanjutnya adalah bagaimana penagihan
terhadap pajak yang terutang tersebut.

Imbalan sehubungan dengan pekerjaan pengenaan pajaknya tunduk kepada
ketentuan Pasal 21, yaitu melalui pemotongan oleh pemberi kerja. Dalam
situasi yang disebutkan dalam contoh tersebut pemberi kerjanya adalah
"bentuk usaha tetap" (BUT), dengan asumsi bahwa kegiatan yang dilakukan oleh
ITALCO tersebut (Lihat uraian dalam contoh pekan lalu) menimbulkan BUT
sesuai dengan ketentuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Padahal pada saat penghasilan tersebut timbul BUT dari ITALCO sudah tidak
berada di Indonesia.

Pengkreditan pajak luar negeri juga merupakan masalah dalam situasi
yang dikemukakan di atas. Untuk lebih mudah penyajiannya, diambil contoh
situasi yang terbalik yaitu karyawannya adalah subjek pajak Indonesia,
misalkan saja Budiman yang ditempatkan di Roma untuk waktu delapan bulan
oleh PT PMA.

Seandainya Budiman menjual sahamnya setelah ia kembali ke Indonesia,
dan memperoleh keuntungan dari penjualan tersebut. Apabila keuntungan ini
dianggap sebagai bagian dari imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukannya di Italia maka hak pemajakannya berada di Italia.

Seandainya Italia dapat mengenakan pajak atas keuntungan tersebut, dan
pada saat Italia mengenakan pajak atas keuntungan tersebut maka Budiman
adalah wajib pajak Indonesia.

Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal 24 UU PPh, Budiman
berhak mengkreditkan pajak yang dipungut oleh Italia. Dalam situasi tersebut
akan terjadi timing mismatch antara pengenaan pajak dan pengakuan
penghasilan, dengan asumsi sebagaimana disebutkan di muka bahwa keuntungan
ini merupakan bagian dari imbalan pada saat Budiman bekerja di Roma.

Kesimpulan

Pemberian imbalan dalam rangka hubungan kerja dengan cara pemberian
hak opsi (stock option) untuk membeli saham, yang melibatkan dua negara yang
terikat suatu P3B menimbulkan masalah dalam kaitannya dengan menentukan
negara mana yang mempunyai hak pemajakan.

Hak pemajakan tersebut tergantung kepada penentuan masuk jenis
penghasilan apakah stock option tersebut. Pendekatan OECD dengan menambah
satu paragraf dalam Commentary dari Article 15, untuk menggolongkannya
sebagai penghasilan/imbalan dari hubungan kerja mungkin masih tidak cukup.

Tambahan penjelasan juga harus ditambahkan di Article 13 (capital
gains) yang kurang lebih menegaskan bahwa capital gains dari pengalihan
saham yang berasal dari stock option yang diberikan kepada eksekutif atau
karyawan lainnya.

Walaupun OECD juga mengusulkan perubahan dalam Article 23 untuk
mencakup situasi tersebut namun hal ini tetap akan menimbulkan masalah
karena terjadi timing mismatch.

Disamping itu penyesuaian Article 23 tergantung kepada ketentuan di
dalam undang-undang domestik masing-masing negara.

Kesulitan akan timbul dalam mengalokasikan penghasilan untuk satu
negara apabila situasi yang berkaitan dengan stock option tersebut
melibatkan lebih dari dua negara. Hal ini dapat terjadi apabila stock option
baru direalisasi setelah seseorang ditempatkan di beberapa negara.

Pemberian imbalan berupa stock option dari saham perusahaan yang
afiliasi mempunyai indikasi transfer pricing karena paket tersebut sangat
besar kemungkinan berkaitan dengan apa yang disebut dengan cost contibution
arrangements (CCA) diantara perusahaan-perusahaan dalam satu grup.

CCA pada dasarnya secara bersama menanggung biaya dan risiko dalam
pengembangan, produksi atau memperoleh aktiva, jasa atu hak-hak dan
menentukan besarnya kepemilikan masing-masing anggota terhadap aktiva atau
hak-hak tersebut.

Dari sudut pandang UU PPh, perlu diatur perlakuan pajak atas imbalan
berupa stock option yang menyangkut subjek pajak luar negeri. Disamping
memperluas pengertian imbalan dari hubungan kerja, juga perlu ditentukan
bagaimana imbalan tersebut dikenai pajak.

Oleh Rachmanto Surahmat
Partner
Prasetio, Sarwoko & Sandjaja Consult

Monday, January 03, 2005

Perlakuan PPh atas stock option(2)

www.bisnis.com : Pajak & Bea Cukai
Senin, 03/01/2005

Perlakuan PPh atas stock option(2)

Pekan lalu sudah diuraikan latar belakang stock option yang terkait
dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPH) dan Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan negara lain.
Jika pemberian stock option melibatkan subjek pajak dari negara lain
yang mempunyai P3B dengan Indonesia, perlakuan pajaknya mempertimbangkan P3B
bersangkutan. Contohnya, Giovani adalah subjek pajak berdomisili di Italia,
dan bekerja di perusahaan ITALCO yang juga berdomisili di Italia. Karena
ITALCO memperoleh proyek di Indonesia, Giovani dikirim ke Indonesia untuk
jangka waktu delapan bulan.

Selama bekerja di Indonesia, Giovani juga punya hak membeli saham PT
ABC, perusahaan PMA yang merupakan afiliasi ITALCO. Bagaimanakah perlakuan
pajak atas imbalan yang diterima Giovani selama bekerja di Indonesia?

Mengingat Giovani adalah subjek pajak Italia, P3B Indonesia-Italia
dijadikan acuan apakah Indonesia mempunyai hak pemajakan atas imbalan itu.

Analisis berikut berdasarkan asumsi Giovani tetap sebagai subjek pajak
Italia. Jadi dengan penerapan Pasal 4 ayat (2) dari P3B Indonesia-Italia,
Giovani adalah subjek pajak Italia, seperti diatur Pasal 15, yang rumusannya
adalah sebagai berikut."Article 15

Dependent Personal Services

1. Subject to the provisions of Articles 16, 18, 19, 20 and 21,
salaries, wages and other similar remuneration derived by a resident of a
Contracting State in respect of an employment shall be taxable only in that
State unless the employment is exercised in the other Contracting State. If
the employment is so exercised, such remuneration as is derived therefrom
may be taxed in that other State.

2. Notwithstanding the provisions of paragraph 1, remuneration derived
by a resident of a Contracting State in respect of an employment exercised
in the other Contracting State shall be taxable only in the first-mentioned
State, if:

(a) the recipient is present in the other State for a period or
periods not exceeding in the aggregate 183 days in the fiscal year
concerned; and

(b) the remuneration is paid by, or on behalf of, an employer who is
not a resident of the other State; and

(c) the remuneration is not borne by a permanent establishment or a
fixed base which the employer has in the other State."

Ayat (1) merupakan prinsip umum hak pemajakan atas imbalan dari
hubungan kerja, dikenai pajak dimana pekerjaan dilakukan. Sedangkan ayat (2)
merupakan pengecualian, imbalan tersebut dikenai pajak jika ketiga syarat
itu dipenuhi. Dari contoh soal tersebut dapat diketahui Giovani tidak
memenuhi syarat kedua, yaitu harus berada di Indonesia tidak lebih dari 183
hari dalam masa 12 bulan.

Dengan demikian, Indonesia berhak mengenakan pajak terhadap imbalan
yang diterima Giovani selama dia bekerja di Indonesia.

Selama bekerja di Indonesia, Giovani memperoleh imbalan berupa gaji
dan hak opsi untuk membeli saham. Sesuai Commentary dari OECD, yang dimaksud
"gaji" termasuk imbalan dalam bentuk natura seperti tempat tinggal,
penggunaan mobil, asuransi kesehatan. Jadi pemberian hak opsi untuk membeli
saham tidak termasuk dalam pengertian imbalan dalam bentuk natura.

Jika Giovani kemudian kembali ke Italia, dan pada saat tersebut dia
menjual sahamnya dan memperoleh keuntungan dari penjualan tersebut,
dimanakah keuntungan itu dikenai pajak? Jika hal ini hanya dilihat dari
transaksi penjualan saham saja, perlakuan pajaknya tunduk kepada Pasal 13
P3B Indonesia-Italia, yang rumusannya sebagai berikut.

"Article 13

Capital Gains

1. Gains derived by a resident of a Contracting State from the
alienation of immovable property referred to in Article 6 and situated in
the other Contracting State may be taxed in that other State.

2. Gains from the alienation of movable property forming part of the
business property of a permanent establishment which an enterprise of a
Contracting State has in the other Contracting State or of movable property
pertaining to a fixed base available to a resident of a Contracting State in
the other Contracting State for the purpose of performing independent
personal services, including such gains from the alienation of such a
permanent establishment (alone or with the whole enterprise) or of such
fixed base, may be taxed in that other State.

3. Gains derived by a resident of a Contracting State from the
alienation of ships or aircraft operated in international traffic or movable
property pertaining to the operation of such ships or aircraft shall be
taxable only in that State.

4. Gains from the alienation of any property other than that referred
to in the preceding paragraphs shall be taxable only in the Contracting
State of which the alienator is a resident."

Dari ketentuan itu, perlakuan pajak atas keuntungan penjualan saham
masuk dalam ketentuan ayat (4), yang hak pengenaan pajaknya berada di negara
dimana penjualnya berdomisili (menjadi subjek pajak), yang dalam kasus ini
adalah Italia.

Berdasarkan peraturan Italia, keuntungan pengalihan saham perusahaan
Italia yang diperoleh orang pribadi dibebaskan pajak 60%, dengan syarat
orang tersebut memiliki lebih dari 2% dari voting power atau 5% dari
besarnya modal dalam perusahaan yang terdaftar di bursa. Jika tidak
memenuhi, keuntungan pengalihan saham tersebut dikenai pajak 12,5%.

Mengingat pemberian stock option berkaitan dengan imbalan sehubungan
dengan pekerjaan di Indonesia, sehingga sesuai "attribution principle" dari
imbalan sehubungan dengan hubungan kerja, capital gain dapat dikenai pajak
di Indonesia.

Dalam hubungan ini, OECD -dalam laporan 16 Juni 2004-telah mengusulkan
perubahan atas Commentary paragraph 2, dengan menambah satu paragraph yaitu
paragraph 2.2, yang bunyinya adalah sebagai berikut:

"2.2. The condition provided by the Article for taxation by the State
of source is that salaries, wages or other similar remuneration be derived
from the exercise of employment in that State. This applies regardless of
when that income may be paid to,, credited to or otherwise definitively
acquired by the employee."

Tambahan penjelasan itu memperluas pengertian gaji atau imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, yaitu pemberian imbalan dari hubungan kerja
tidak harus diberikan pada saat bersamaan dengan pada saat pekerjaan
dilakukan.

Seandainya P3B Indonesia-Italia mengikuti usul OECD ini, perlu ada
penyesuaian terhadap pasal lain dalam P3B itu, yaitu mekanisme pengkreditan
pajak luar negeri. Dalam contoh tersebut telah terjadi perbedaan waktu
antara pengenaan pajak atas imbalan dengan saat pekerjaan dilakukan (timing
mismatch).

Hal ini berkaitan dengan kredit pajak yang secara hipotetis adalah
pajak atas penghasilan yang bersumber di Indonesia pada saat seseorang tidak
lagi melakukan pekerjaannya di Indonesia.

Oleh Rachmanto Surahmat
Partner
Prasetio, Sarwoko & Sandjaja Consult