Friday, December 31, 2004

MENCERMATI PERBEDAAN BESARNYA TARIF PAJAK ATAS PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN ATAU BANGUNAN

MENCERMATI PERBEDAAN BESARNYA TARIF PAJAK ATAS PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN ATAU BANGUNAN

Oleh : Triyani Budianto


Abstrak

Terhitung sejak tanggal 1 Mei 2002 besarnya pajak yang terutang atas penghasilan yang diperoleh dari persewaan tanah dan atau bangunan ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen). Hal ini berdasarkan Peraturan Pemerintah No 5 Tahun 2002. Besarnya tarif tersebut sama untuk Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan.


Perubahan tarif ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan perlakuan yang sama kepada penerima penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan baik Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan. Namun demikian, penulis menemukan adanya “perbedaan perlakuan” lainnya dari pelaksanaan Peraturan Pemerintah No 5 tahun 2002. Hal ini terlihat dari adanya perbedaan tarif yang diakibatkan karena perbedaan saat penandatanganan kontrak dan saat dimulainya pelaksanaan sewa menyewa sebagaimana diatur dalam pasal 7 KEP-227/PJ./2002.


Dalam tulisan ini penulis bermaksud mengulas tentang perbedaan besarnya tarif pajak atas penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan seperti yang tertuang dalam pasal 7 KEP-227/PJ./2002.



Pendahuluan


Ketentuan yang mengatur tentang Pajak atas penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan telah beberapa kali mengalami perubahan. Sebelum diatur dengan Peraturan Pemerintah dan dikenakan PPh Final, ketentuan mengenai Pajak atas penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan diatur dalam Undang-undang Pajak Penghasilan (Pasal 23) dan KEP-10/PJ./1995 tgl 31 Januari 1995 jo KEP-76/PJ./1995 tgl 2 Oktober 1995.

Pada tanggal 18 April 1996 pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah No 29 tahun 1996 tentang Pembayaran Pajak atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan. Sejak tanggal ditetapkannya PP No 29 ini, maka penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan dikenakan PPh Final berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan (Pasal 4 ayat 2).

Besarnya pajak atas penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan, sebagaimana diatur dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah No 29 tahun 1996 adalah sebagai berikut :

1. Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, adalah sebesar 6% (enam persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanahdan/atau bangunan dan bersifat final.
2. Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan bersifat final.

Pelaksanaan lebih lanjut Peraturan Pemerintah No 29 tahun 1996 diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No. KMK-394/KMK.04/1996 tanggal 5 Juni 1996. Ketentuan mengenai besarnya tarif diatur lebih jelas dalam pasal 2 ayat (1) sebagai berikut :

a. Sebesar 6% (enam persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan bersifat final dalam hal kepemilikan tanah dan/atau bangunan yang disewakan maupun yang menyewakannya adalah Wajib Pajak badan dalam negeri atau bentuk usaha tetap;
b. Sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan bersifat final dalam hal yang menyewakan adalah Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri;
c. Sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan bersifat final dalam hal kepemilikan tanah dan/atau bangunan yang disewakan adalah milik Wajib Pajak orang pribadi tetapi yang menyewakannya adalah Wajib Pajak badan dalam negeri atau bentuk usaha tetap.

Dengan pertimbangan untuk memberikan kepastian hukum dan perlakuan yang sama terhadap penerima penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan pada tanggal 23 Maret 2002 pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah No 5 tahun 2002 tentang perubahan Peraturan Pemerintah No 29 tahun 1996. Peraturan Pemerintah ini berlaku sejak tanggal 1 Mei 2002.

Ketentuan-ketentuan yang dirubah melalui Peraturan Pemerintah No 5 tahun 2002 adalah sebagai berikut :

Pasal Semula (Berdasarkan PP No 29 th 1996)
Pasal 2 :
Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib membayar sendiri Pajak Penghasilan yang terutang atau dipotong oleh penyewa yang bertindak sebagai Pemotong Pajak.
Pasal 3 :
1. Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, adalah sebesar 6% (enam persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanahdan/atau bangunan dan bersifat final.
2. Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan bersifat final.
Dirubah Menjadi (Berdasarkan PP No 5 Th 2002).
Pasal 2 :
1. Atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yang diterima atau diperoleh dari penyewa yang bertindak atau ditunjuk sebagai Pemotong Pajak, wajib dipotong Pajak Penghasilan oleh penyewa
2. Dalam hal penyewa bukan sebagai Pemotong Pajak maka Pajak Penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan.
Pasal 3 :
Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dipotong atau dibayar sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/ atau bangunan dan bersifat final.

Sebagai aturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 2002, telah ditetapkan Keputusan Menteri Keuangan No 120/KMK.03/2002 pada tanggal 1 April 2002, yang merupakan perubahan dari Keputusan Menteri Keuangan No. 394/KMK.04/1996. Sedangkan Tatacara Pemotongan dan Pembayaran, Serta Pelaporan Pajak Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan diatur melalui Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-227/PJ./2002 tanggal 23 April 2002.
Perbedaan Tarif Berdasarkan KEP-227/PJ./2002
Seperti telah diuraikan diatas, besarnya tarif Pajak atas penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan bedasarkan Peraturan Pemerintah No 5 tahun 2002, terhitung sejak 1 Mei 2002 adalah sebesar 10% (sepuluh persen) baik diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan.

Namun demikian, dalam KEP-227/PJ./2002 masih diatur tentang perbedaan tarif akibat adanya perbedaan waktu penandatanganan kontrak dan saat dimulainya pelaksanaan sewa. Hal ini diatur dalam pasal 7 sebagai berikut :
1. Dalam hal kontrak atau perjanjian sewa ditandatangani sebelum bulan Mei 2002 dan pelaksanaanya dimulai sebelum bulan Mei 2002, maka atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dari persewaan tanah dan atau bangunan dikenakan tarif sebesar 6% (enam persen) dari jumlah bruto nilai persewaan;
2. Dalam hal kontrak atau perjanjian sewa ditandatangani sebelum bulan Mei 2002 tetapi pelaksanaanya setelah bulan April 2002, maka atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dari persewaan tanah dan atau bangunan dikenakan tarif sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan;
3. Dalam hal kontrak atau perjanjian sewa ditandatangani dan pelaksanaanya setelah bulan April 2002, maka atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dari persewaan tanah dan atau bangunan dikenakan tarif sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan; Perbedaan Penafsiran Atas ketentuan pasal 7 KEP-227/PJ./2002

Ketentuan dalam pasal 7 tersebut diatas menurut hemat penulis merupakan salah satu ketentuan perpajakan yang “cukup jelas” sehingga seharusnya tidak menimbulkan adanya perbedaan penafsiran. Berdasarkan pengamatan penulis perbedaan penafsiran atas ketentuan pasal 7 KEP-227/PJ./2002 tetap terjadi. Perbedaan penafsiran tersebut terjadi baik antara pihak penyewa dengan penerima penghasilan maupun antara Wajib Pajak dengan Fiskus, bahkan terjadi pula antara “Kantor Pelayanan Pajak” dengan “Direktorat Jenderal Pajak”.

Perbedaan penafsiran antara penyewa dengan penerima penghasilan terutama terjadi pada masa “transisi” (bulan Mei tahun 2002). Hal ini terutama terjadi dalam hal perjanjian sewa menyewa bersifat jangka panjang dan dengan cara pembayaran tertentu. Perbedaan-perbedaan penafsiran tersebut kami uraikan dengan ilustrasi dalam contoh-contoh berikut ini.

Contoh 1 :

PT X Menyewa ruang kantor di gedung milik PT ABC untuk jangka waktu 5 tahun, terhitung sejak Januari 2001 s/d Desember 2005. Penandatanganan kontrak telah dilakukan pada bulan Januari 2001 dan mulai ditempati sejak bulan Januari 2001. Nilai sewa berdasarkan kontrak tsb untuk tahun ke-1 dan ke-2 adalah sebesar Rp 10.000.000/bulan. Pembayaran ditetapkan setiap 3 bulan sekali dibayar dimuka. PT ABC menerbitkan Invoice 3 bulan sekali. Selama tahun 2002 Invoice yang diterbitkan PT ABC adalah sbb :
- Invoice No. 001 bulan Januari 2002, merupakan tagihan atas sewa bulan Januari s/d Maret 2002 sebesar Rp 30.000.000,-
- Invoice No. 002 bulan April 2002, merupakan tagihan atas sewa bulan April s/d Juni 2002 sebesar Rp 30.000.000,-
- Invoice No 003 bulan Juli 2002, merupakan tagihan atas sewa bulan Juli s/d September 2002 sebesar Rp 30.000.000,-
- Invoice No 004 bulan Oktober 2002, merupakan tagihan atas sewa bulan Oktober s/d Desember 2002 sebesar Rp 30.000.000,-

Atas pembayaran sewa tahun 2002 oleh PT X di potong PPh final dengan tarif sbb :
- Invoice 001 bln Januari dipotong PPh dengan tarif 6% (enam persen) dari nilai sewa. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 3 PP 29 tahun 1996.
- Invoice 002 bulan April juga dipotong PPh dengan tarif 6% (enam persen) dari nilai sewa karena pembayaran telah dilakukan sebelum bulan April 2002. [Namun apabila pembayaran dilakukan setelah April 2002, maka atas tagihan sewa tersebut akan dipotong PPh dengan tarif 10% (sepuluh persen)].
- Invoice 003 bulan Juli 2002 dan 004 bulan Oktober 2002, dipotong PPh dengan tarif 10% (sepuluh persen).

Cara pemotongan seperti ini merupakan cara paling umum yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Dalam hal ini antara PT X dan PT ABC terdapat kesepakatan tentang besarnya tarif PPh yang diterapkan.
Contoh 2 :


PT Y Menyewa Ruangan milik PT DEF dengan perjanjian dan cara pembayaran seperti dalam contoh 1 diatas. PT Y dan PT DEF terdaftar di KPP yang berbeda. Besarnya PPh yang dipotong atas transaksi tersebut adalah sbb :

PT DEF berpendapat bahwa sesuai dengan ketentuan dalam pasal 7 Kep-227/PJ/2002, “apabila Kontrak telah ditandatangani sebelum bulan Mei 2002 dan pelaksanaannya sebelum bulan Mei 2002 maka pajak yang seharusnya dipotong hanya sebesar 6% (enam persen)”, PT Y selaku pemotong pajak telah memotong pajak sebesar 6% sesuai dengan “keinginan” PT DEF.

Untuk memperkuat argumentasi PT DEF bahwa pajak yang seharusnya terutang adalah sebesar 6% maka PT DEF meminta penegasan ke Direktorat Jenderal Pajak. Dengan adanya Surat Penegasan dari Direktorat PPh yang menegaskan mengenai besarnya tarif PPh yang seharusnya terutang maka dapat dihindarkan kemungkinan adanya “konflik” antara PT Y selaku penyewa dengan PT DEF selaku penerima penghasilan yang diakibatkan oleh perbedaan penafsiran. Surat penegasan tersebut juga dapat meminimalisasi resiko bagi PT Y selaku pemotong pajak,apabila dikemudian hari PT Y “dianggap” melakukan kesalahan dalam menerapkan tarif pemotongan PPh atas sewa tanah dan atau bangunan.
Meskipun PT DEF telah memperoleh Surat Penegasan dari Direktorat Pajak Penghasilan mengenai besarnya PPh yang seharusnya terutang, namun PT Y selaku pemotong pajak masih mendapat Surat Teguran dari Kantor Pelayanan Pajak-nya dan diminta agar menyetor kekurangan PPh atas sewa tanah dan bangunan sebesar 4%. Hal ini karena KPP berpendapat bahwa Sejak 1 Mei 2002 besarnya PPh yang terutang atas penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan adalah sebesar 10%, tanpa melihat kapan penandatangan perjanjian sewa dan pelaksaan sewa dimulai.
Contoh 3 :


PT Z Menyewa Ruangan milik PT GHI dengan perjanjian dan cara pembayaran yang sama dengan contoh 1 diatas. PT Z dan PT GHI terdaftar di KPP yang berbeda. Besarnya PPh yang dipotong oleh PT Z atas transaksi tersebut adalah sbb :
- Invoice 001 bln Januari dipotong PPh dengan tarif 6% (enam persen) dari nilai sewa. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 3 PP 29 tahun 1996.
- Invoice 002 bulan April juga dipotong PPh dengan tarif 6% (enam persen) dari nilai sewa.
- Invoice 003 bulan Juli 2002 dan 004 bulan Oktober 2002, dipotong PPh dengan tarif 10% (sepuluh persen).

Namun demikian PT GHI berpendapat bahwa atas penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan yang diperolehnya seharusnya dikenakan PPh final dengan tarif 6% (enam persen). Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 7 KEP-227/PJ./2002 dimana apabila perjanjian sewa ditandatangani sebelum April 2002 dan pelaksanaan sewa sudah dimulai sebelum Mei 2002 maka terutang PPh Final sebesar 6% (enam persen). Untuk meminimalisir kemungkinan resiko yang terjadi akibat “salah penafsiran” dalam menerapkan ketentuan perpajakan, PT GHI meminta penjelasan dan penegasan tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak tempat PT GHI terdaftar.

Penjelasan yang diperoleh PT GHI dari KPP-nya antara lain sebagai berikut : “Penerapan tarif selama tiga bulan (April 2002 s.d Juni 2002) dikenakan tarif 6%, karena pelaksanaan pembebanan/pembayaran dilakukan sebelum Mei 2002. dan untuk pembayaran berikutnya dikenakan tarif 10% karena pelaksanaan pembebanan/pembayaran dilaksanakan setelah Juni 2002”.

Penjelasan yang diberikan oleh Kepala KPP tersebut berbeda dengan penjelasan yang di berikan oleh Direktorat Pajak Penghasilan dalam contoh 2 diatas. Setelah memperoleh tembusan surat dari KPP, Direktorat Pajak Penghasilan mengirimkan surat ke Kepala KPP dan menjelaskan bahwa penjelasan yang diberikan Kepala KPP tersebut diatas terdapat kekeliruan.

Direktorat Pajak Penghasilan memberikan penjelasan sebagai berikut :
- Dalam hal Kontrak atau perjanjian sewa ditandatangani sebelum bulan Mei 2002 dan awal pelaksanaan sewa tersebut sebelum bulan Mei 2002, maka atas penghasilan sewa ruangan yang diterima atau diperoleh oleh pihak penyewa dikenakan pemotongan PPh yang bersifat final sebesar 6% (enam persen) dari jumlah bruto nilai persewaan, meskipun pembayarannya dilakukan setelah Mei 2002
- Dalam hal salah satu (kontrak/perjanjian sewa atau pelaksanaan kontrak) ataupun keduanya dilakukan setelah bulan April 2002 atau apabila terjadi perubahan kontrak/perjanjian sewa (nilai/harga maupun jangka waktu) dilakukan pada bulan Juni 2002, maka atas penghasilan tersebut dikenakan PPh final sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan.
- Yang dimaksud dengan pelaksanaan sewa/ pelaksanaan kontrak disini adalah saat ruangan mulai ditempati/dihuni/digunakan oleh penyewa, bukan pelaksanaan pembayaran atas sewa tersebut.
Perbedaan Besarnya Pajak yang harus dibayar Akibat Perbedaan Waktu.


Dari uraian dalam contoh 1 sampai 3 tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa besarnya PPh final atas penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan berdasarkan KEP-227/PJ./2002 adalah sebagai berikut :
- Untuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari persewaan tanah dan atau bangunan yang perjanjiannya telah ditanda tangani dan dilaksanakan sebelum Mei 2002 adalah sebesar 6% (enam persen),
- Untuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari persewaan tanah dan atau bangunan yang perjanjiannya di tandatangani setelah April 2002 adalah sebesar 10% (Sepuluh persen).

Menurut hemat penulis ketentuan tersebut “tidak sejalan” dengan tujuan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 2002. Seperti diungkapkan dalam uraian umum bahwa PP No 5 tersebut diterbitkan dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlakuan yang sama kepada penerima penghasilan dari persewaan tanah/atau bangunan baik badan maupun orang pribadi.

Mengingat bahwa Pajak atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan bersifat final maka perbedaan tarif tersebut merupakan salah satu bentuk “ketidakadilan”. Perbedaan besarnya tarif PPh atas sewa tanah dan atau bangunan ini akan hilang seiring dengan berjalannya waktu.

Sebagai gambaran perbedaan tersebut, mari kita perhatikan contoh berikut ini :
1. PT JKL merupakan perusahaan yang bergerak dibidang persewaan tanah dan atau bangunan perkantoran yang beroperasi sejak tahun 1999.
Seluruh unit ruangan yang disewakan telah “terjual habis” sejak tahun 2000. Perjanjian sewa menyewa telah ditanda tangani sejak tahun 2000 dan semua ruangan telah ditempati oleh penyewa pada tahun yang sama. Perjanjian sewa menyewa atas seluruh ruangan yang disewakan bersifat jangka panjang, yaitu selama 10 tahun terhitung sejak Januari 2000 – Desember 2010. Pembayaran sewa ditetapkan setiap 3 bulan dibayar dimuka. Selama tahun 2003 Jumlah penghasilan bruto PT JKL dari usaha persewaan tanah dan atau bangunan sebesar Rp 3 milyar.

Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 7 KEP-227/PJ./2002, maka jumlah PPh final yang seharusnya dipotong oleh penyewa selama tahun 2003 adalah sebesar Rp 180.000.000,- (6% x 3 milyar). Jumlah pajak yang dipotong oleh penyewa ini merupakan jumlah pajak yang terutang selama tahun 2003 dari penghasilan atas persewaan tanah dan atau bangunan.
2. PT MNO juga merupakan perusahaan yang bergerak dibidang persewaan ruangan perkantoran. PT MNO beroperasi sejak awal tahun 2002.
Meskipun seluruh perjanjian sewa menyewa telah ditandatangani sebelum bulan Mei 2002, namun seluruh ruangan yang disewakan baru bisa ditempati pada bulan Juni 2002. Selama tahun 2003 jumlah penghasilan bruto yang diterima PT MNO dari usaha persewaan tanah dan atau bangunan sebesar Rp 2 milyar.

Maka sesuai dengan ketentuan dalam pasal 7 KEP-227/PJ./2002 besarnya pajak yang seharusnya dipotong oleh penyewa adalah sebesar Rp 200.000.000,- (10% x 2 milyar).

Dalam contoh tersebut diatas dapat kita lihat bahwa PT MNO yang memperoleh penghasilan lebih kecil jika dibanding dengan PT JKL harus membayar pajak dengan jumlah yang lebih besar. Meskipun dalam hal ini PT JKL dan PT MNO adalah “sesama” wajib pajak badan dan juga bergerak di bidang usaha yang sama. Namun akibat dari perbedaan waktu “dimulainya usaha” pada tahun yang sama (2003) harus membayar pajak dengan tarif yang berbeda.

Apabila tidak ada perubahan aturan pajak di bidang persewaan tanah dan atau bangunan, perbedaan ini akan terus terjadi ditahun-tahun berikutnya sampai tahun 2010.


Penutup

Dari Uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa meskipun PP No 5 tahun 2002 telah menetapkan besarnya Pajak atas Penghasilan dari sewa tanah dan/atau bangunan baik WP Badan maupun WP Orang Pribadi sama sebesar 10% (sepuluh persen), namun dalam pelaksanaannya masih terdapat perbedaan tarif. Namun demikian perbedaan tarif tersebut bukan akibat perbedan jenis Subyek Pajak, apakah Wajib Pajak Badan Atau Orang Pribadi. Perbedaan tarif PPh final tersebut lebih disebabkan karena :

- Berdasarkan ketentuan dalam pasal 7 KEP-227/PJ./2002 Perbedaan tarif diatur akibat adanya perbedaan waktu penandatanganan kontrak dan awal pelaksanaan sewa. Apabila Perjanjian sewa telah ditandatangani sebelum Mei 2002, dan awal pelaksanaan sewa dilakukan sebelum Mei 2002, maka PPh yang terutang adalah 6% (enam persen), namun jika perjanjian sewa dan atau pelaksanaan sewa dilakukan setelah April 2002, maka PPh yang terutang adalah 10% (Sepuluh persen).

- Perbedaan yang terjadi akibat “kesalahan” dalam menafsirkan ketentuan pasal 7 KEP-227/PJ./2002. Hal ini karena tidak semua Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan mendapatkan penjelasan/penegasan dari Direktorat Jenderal Pajak. Sehingga tidak jarang Wajib pajak yang seharusnya membayar pajak dengan tarif 6% (enam persen) akibat kesalahan menafsirkan ketentuan pasal 7 KEP-227/PJ./2002, maka membayar pajak dengan tarif 10% (sepuluh persen).

Mengingat banyaknya pertanyaan dan permohonan penjelasan atas ketentuan dalam pasal 7 KEP-227/PJ/2002 ke Direktorat Jenderal pajak, dan terjadinya perbedaan penafsiran atas ketentuan tersebut dalam praktek, menurut penulis alangkah baiknya jika Direktorat Jenderal pajak menerbitkan Surat Edaran atas hal tersebut. Dengan diterbitkannya Surat Edaran maka Wajib Pajak dapat memperoleh informasi yang sama.

Sepanjang pengamatan penulis, penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dilakukan oleh Dirjen Pajak melalui Surat-surat Dirjen Pajak yang hanya ditujukan kepada Wajib Pajak yang bertanya dan meminta penjelasan.

Dalam kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman di milis AKI, yang telah berpartisipasi dalam diskusi mengenai topik yang penulis sampaikan dalam tulisan ini.


Daftar Pustaka


Keputusan Direktorat Jenderal Pajak No. 227/PJ./2002 tanggal 21 Pebruari 2001 tentang Tatacara Pemotongan dan Pembayaran, serta Pelaporan Pajak Penghasilan dari Persewaan Tanah dan Atau Bangunan.

Keputusan Menteri Keuangan No. 394/KMK.04/1996 tanggal 5 Juni 1996 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 120/KMK.03/2002 tanggal 1 April 2002.

Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1996 tanggal 18 April 1996 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/ atau Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No 5 tahun 2002.

Surat Dirjen Pajak No. S-251/PJ.43/2002 tanggal 25 Juli 2002 tentang Jawaban atas permintaan penjelasan KEP-227/PJ./2002.

Surat Dirjen Pajak No S-959/PJ.31/2002 tanggal 23 Desember 2002 tentang Jawaban atas Permohonan Penegasan Besarnya Tarif PPh final atas Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2000

*) Artikel ini dimuat di Majalah Jurnal Perpajakan Indonesia Volume 3 No. 5 Bulan Desember 2003.

Thursday, December 30, 2004

SEBUAH WACANA TENTANG "PROSES" PENGHAPUSAN NPWP

SEBUAH WACANA TENTANG "PROSES" PENGHAPUSAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK *)
Oleh : Triyani Budianto

Abstrak

Keputusan untuk menutup sebuah perusahaan adalah sesuatu yang wajar dalam dunia bisnis, baik disebabkan karena keinginan pemilik maupun berdasarkan putusan pengadilan. Tindakan tersebut akan berdampak pula terhadap hak dan kewajiban perusahaan dibidang perpajakan. Implikasi dari penutupan usaha tersebut erat kaitannya dengan masalah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Permohonan penghapusan NPWP juga harus dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, misalnya bagi Tenaga Kerja Asing (Expatriates) yang bekerja di Indonesia yang akan kembali ke negara asalnya, Wanita Kawin tidak dengan perjanjian pisah harta dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang meninggal dunia.

Dalam praktek di lapangan, proses penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak merupakan salah satu masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan pasti. Dalam tulisan ini penulis bermaksud memaparkan wacana dan beberapa realita yang terjadi dilapangan sehubungan dengan permohonan penghapusan NPWP yang disebabkan karena Wajib Pajak Badan yang dibubarkan, Tenaga Kerja Asing yang harus meninggalkan Indonesia dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang meninggal Dunia.

Dasar Hukum Penghapusan NPWP

Ketentuan mengenai Penghapusan NPWP diatur dalam pasal 2 ayat (5) Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana terakhir telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000. Ketentuan pasal 2 ayat 5 Undang-undang KUP mengatur sebagai berikut : Jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) termasuk penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Sebagai Aturan pelaksanaan pasal 2 ayat 5 Undang-undang KUP, Direktur Jenderal pajak telah nenetapkan Keputusan nomor Kep-161/PJ/2001 pada tanggal 21 Februari 2001 tentang Jangka Waktu Pendaftaran Dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Pengertian penghapusan NPWP menurut Kep-161/PJ/2001 adalah Tindakan menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari tata usaha Kantor Pelayanan Pajak (pasal 1 ayat 11). Penghapusan NPWP dan atau pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak hanya ditujukan untuk kepentingan tata usaha perpajakan, tanpa menghilangkan kewajiban perpajakan yang harus dilakukan (pasal 15).

Sesuai dengan ketentuan pasal 11 ayat (1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut, Penghapusan NPWP dilakukan dalam hal :

a. Wajib Pajak Orang Pribadi Meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan;
b. Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan ;
c. warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak sudah selesai dibagi ;
d. Wajib Pajak Badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
e. Bentuk Usaha Tetap yang karena satu dan lain hal kehilangan statusnya sebagai bentuk usaha tetap;
f. Wajib pajak orang pribadi lainnya selain yang dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang tidak lagi memenuhi syarat lagi sebagai Wajib Pajak.

Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat 1 tsb diatas, dapat dilakukan apabila utang pajak telah dilunasi atau hak untuk melakukan penagihan telah daluwarsa, kecuali dari hasil pemeriksaan pajak diketahui bahwa utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi disebabkan karena :

a. Wajib Pajak Orang Pribadi meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris, atau ahli waris tidak dapat ditemukan
b. Wajib pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi; atau
c. Sebab lain sesuai dengan hasil pemeriksaan.

Jangka waktu penyelesaian Permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana diatur dalam pasal 11 ayat (3) KEP-161/PJ./2001 harus diselesaikan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan secara lengkap, kecuali permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 angka 3 dan pasal 13 (2) dan ayat (3).

Realita Proses Penghapusan NPWP di lapangan


a. Perusahaan Dibubarkan

Dalam hal perseroan bubar, berdasarkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1995, beberapa kewajiban likuidator yang harus di selesaikan dalam waktu paling lambat 30 hari antara lain :

- Mendaftarkan dalam daftar perusahaan,
- Mengajukan peermohonan untuk diumumkan dalam berita negara Republik Indonesia
- Mengumumkan dalam 2 (dua) surat kabar harian; dan
- memberitahukan kepada Menteri Kehakiman.

Setelah proses legal dilakukan, Likuidator memiliki kewajiban untuk mengajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak ke kantor pelayanan pajak tempat perseroan terdaftar.

Berdasarkan informasi tentang pembubaran perseroan, seharusnya pihak Direktorat Jenderal Pajak sudah dapat untuk menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak, sehingga dapat segera diketahui besarnya pajak yang terutang. Apabila pajak yang terutang telah dilunasi, penghapusan NPWP dan pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak dapat segera dilakukan.

Namun demikian, beberapa kasus yang penulis jumpai menunjukkan kenyataan yang berbeda. beberapa hal yang terjadi antara lain :

1. DJP tidak cepat tanggap dengan adanya pengumuman likuidasi suatu perusahaan (Wajib Pajak) yang dimuat di surat kabar dan Lembaran Berita Negara.
2. Untuk mendapatkan kepastian hukum maka Likuidator akan segera mengajukan permohonan penghapusan NPWP dan pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak. Namun tidak jarang likuidator mengabaikan hak dan kewajibannya untuk mengajukan permohonan penghapusan NPWP dan pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak.
3. Setelah surat permohonan diterima dan di-administrasikan di kantor pelayanan pajak, DJP akan melakukan pemeriksaan sehubungan dengan permohonan penghapusan NPWP dan pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak.
4. Setelah pemeriksaan selesai, pajak-pajak yang terutang telah dilunasi dan terbukti bahwa alasan permohonan pencabutan NPWP benar, maka Permohonan penghapusan NPWP dan pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak akan disetujui.

Dalam hal ini penghapusan NPWP dan pencabutan Pengukuhan pengusaha kena pajak Wajib Pajak Badan lebih terdapat kepastian hukum meskipun membutuhkan waktu yang relatif lama. Lain halnya dengan penghapusan
NPWP untuk Wajib Pajak Orang Pribadi.

b. Wajib Pajak Orang Pribadi yang Meninggal Dunia.

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang meninggal dunia, permohonan penghapusan NPWP harus diajukan oleh ahli warisnya setelah warisan selesai dibagi. Ahli waris mengajukan permohonan penghapusan NPWP dengan dilampiri dengan surat keterangan kematian Wajib Pajak dan surat pernyataan bahwa warisan telah selesai dibagi.

Dalam hal ini, tidak jarang permohonan ahli waris tersebut “diabaikan” oleh Kantor Pelayanan Pajak. Seringkali permohonan penghapusan NPWP atas Wajib Pajak Orang Pribadi yang meninggal dunia “dibiarkan menggantung” tanpa ada penyelesaian. Tidak jarang KPP masih terus mengirimkan Formulir SPT Tahunan untuk diisi oleh Wajib Pajak. Dan apabila sampai batas waktu yang ditentukan Wajib Pajak belum menyampaikan SPT PPh Orang Pribadi (dan WP tidak akan pernah menyampaikan SPT, karena sudah meninggal), Pihak KPP akan terus menerbitkan Surat Teguran. Hal ini merupakan salah satu bentuk ketidakefisienan administrasi di Kantor Pajak, yang juga merupakan bentuk ketidakpastian hukum bagi ahli waris wajib pajak.

Namun demikian, tidak jarang pula ahli waris yang mengabaikan hak dan kewajibannya, dengan tidak memberitahukan pihak KPP tentang meninggalnya Wajib Pajak. Sehingga NPWP tidak dapat dihapus dari administrasi KPP karena tidak ada permohonan.

c. Wajib Pajak Orang Pribadi yang Meninggalkan Indonesia untuk Selamanya.

Dalam hal ini penulis lebih menitikberatkan pada masalah Expatriates yang kembali ke negara asalnya. Bagi perusahaan multinational (PMA) pada umumnya tenaga kerja asing ditugaskan dari kantor pusatnya (perusahaan induk) untuk jangka waktu tertentu. Dengan demikian, pada saat jangka waktu yang dimaksud telah terlewati, maka tenaga kerja asing tersebut harus meninggalkan Indonesia dan kembali ke negara asalnya.

Pada saat tenaga kerja asing datang dan mulai bekerja di Indonesia, terdapat beberapa persyaratan legal yang harus dipenuhi, antara lain : keimigrasian, Ijin Tenaga Kerja Asing (IKTA), KITAS. Photocopy dari dokumen-dokumen legal tersebut juga harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak sebagai lampiran permohonan pendaftaran wajib pajak (membuat NPWP).

Pada saat tenaga kerja asing harus meninggalkan Indonesia, ijin-ijin legal yang telah diperoleh juga akan dicabut. Pihak Disnakertrans/BKPM akan mencabut Ijin Kerja Tenaga Asing (IKTA) dan menyampaikan tembusan pencabutan IKTA tersebut ke KPP tempat WP terdaftar (pada umumnya di KPP Badora). Agar NPWP dapat dihapus, expatriates tersebut tetap harus mengajukan permohonan penghapusan NPWP ke Kantor Pelayanan Pajak dimana dirinya terdaftar.
Namun seringkali permohonan penghapusan NPWP tersebut “tidak diselesaikan dengan jelas”. Surat permohonan penghapusan NPWP tersebut diterima oleh KPP tetapi tidak ditindak lanjuti. dan seringkali “menggantung” dalam jangka waktu yang cukup lama ( lebih dari 1 tahun). Hal ini bertentangan dengan Kep-161/PJ./2001 yang mengatur bahwa penghapusan NPWP harus sudah diselesaikan dalam jangka waktu 12 bulan sejak permohonan diterima secara lengkap.

Meskipun permohonan penghapusan NPWP telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak dan Tenaga Kerja Asing tersebut telah meninggalkan Indonesia, seringkali pihak KPP masih terus mengirim paket Formulir SPT Tahunan WP Orang Pribadi kepada Expatriates tersebut.

Kesimpulan dan Saran

Dari beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pelayanan kantor pelayanan pajak terhadap Wajib Pajak dibidang penghapusan NPWP berdasarkan Kep-161/PJ./2001 masih sarat dengan ketidak pastian. Agar dapat lebih memberikan kepastian hukum kepada wajib pajak, berikut ini beberapa hal yang penulis sarankan :

a) diberikan batas waktu yang pasti tentang kapan permohonan penghapusan NPWP harus disampaikan ke Kantor pelayanan Pajak. misalnya :

- untuk pembubaran PT, maka permohonan harus disampaikan paling lambat 30 hari sejak RUPSLB tentang pembubaran atau satu minggu sejak diumumkan di Lembaran Berita Negara.
- Untuk Wajib Pajak yang meninggal dunia, maka ahli waris harus mengajukan permohonan penghapusan NPWP paling lambat 30 hari sejak Wajib Pajak meninggal dunia dan atau warisan selesai dibagi.
- Untuk tenaga kerja asing yang meninggalkan Indonesia, permohonan penghapusan NPWP paling lambat disampaikan ke kantor pelayanan pajak dalam 30 hari setelah pencabutan IKTA.

b) diberikan batasan tentang dokumen-dokumen apa saja yang minimal harus dilampirkan dalam permohonan penghapusan NPWP. hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya perbedaan penafsiran antara fiskus dan wajib pajak.

c) diberikan kepastian mengenai jangka waktu penyelesaian. misalnya apabila jangka waktu 12 bulan telah terlampaui, maka permohonan dianggap diterima dan otomatis NPWP dihapus dari administrasi kantor pelayanan pajak.

Untuk lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi wajib pajak, menurut hemat penulis seharusnya Direktorat Jenderal Pajak membuat kebijakan yang lebih serius dalam menangani permohonan penghapusan NPWP sama halnya dengan menangani pendaftaran Wajib Pajak baru untuk mendapatkan NPWP.

Daftar Pustaka

Keputusan Direktorat Jenderal Pajak nomor 161/PJ./2001 tanggal 21 Pebruari 2001 tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, serta Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 tahun 2000

Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas

*) Artikel ini dimuat di Majalah Jurnal Perpajakan Indonesia Vol 3 No. 3 bulan Oktober 2003

Wednesday, December 29, 2004

INCOME TAX TREATMENT OF HUMANITARIAN ASSISTANCE

Unofficial Translation PMK 609/PMK.03/2004. Thanks to mas AW yang sudah membagi peraturan ini.. :)

------

INCOME TAX TREATMENT OF HUMANITARIAN ASSISTANCE
FOR THE NATURAL DISASTER
IN NANGGROE ACEH DARUSSALAM AND NORTH SUMATRA
(Regulation of the Minister of Finance of the Republic of Indonesia
Number 609/PMK.03/2004 dated 28 December 2004)

The Minister of Finance of the Republic of Indonesia,

Considering:
a. that the natural disaster in the form of an earthquake and tsunami that swept the Provinces of Nanggroe Aceh Darussalam and North Sumatra in December 2004 constitute a national disaster creating enormous loss of life and property, and therefore requires a very large amount of funds and very rapid handling;
b. that in order to handle this national disaster, the participation and concern of the entire public is needed, particularly from entrepreneurs and other Taxpayers, as a manifestation of the solidarity and unity of the Indonesian people, in the form of contributions to the victims of this natural disaster;
c. that in connection with the matter mentioned in letter b, a Government policy is needed so that the burden of taxes that would normally be paid by donors for this national disaster will be borne by the government;
d. that based on the considerations as mentioned in letters a, b, and c, it is necessary to promulgate a Regulation of the Minister of Finance on Income Tax Treatment of Humanitarian Assistance for the Natural Disaster in Nanggroe Aceh Darussalam and North Sumatra;

Bearing in Mind:
1. Law Number 6 of 1983 (Berita Negara [State Gazette] No. 3994 page 1B-20B ff) on General Provisions and Procedures for Taxation (Lembaran Negara [State Gazette] of the Republic of Indonesia for 1983 No. 49, Supplement to State Gazette No. 3262), as amended several times, most recently through Law Number 16 of 2000 (Berita Negara No. 6503 pages 1B-9B ff) (Lembaran Negara for 2000 No. 126, Supplement to LN No. 3984);
2. Law Number 7 of 1983 (BN No. 3995 page 1B-31B ff) on Income Tax (LN for 1983 No. 50, Supplement to State Gazette No. 3263), as amended several times, most recently through Law Number 17 of 2000 (BN No. 6506 pages 1B-7B ff) (LN for 2000 No. 127, Supplement to LN No. 3985);
3. Government Regulation No. 138 of 2000 (BN No. 6564 pages 1B-4B) on Calculation of Taxable Income and Payment of Income Tax During the Current Year (LN for 2000 No. 235, Supplement to LN No. 4055);
4. Presidential Decree No. 187/M of 2004 (BN No. 7128 p. 11B);

HAS DECIDED:

To promulgate this
REGULATION OF THE MINISTER OF FINANCE OF THE REPUBLIC OF INDONESIA ON INCOME TAX TREATMENT OF HUMANITARIAN ASSISTANCE FOR THE NATURAL DISASTER IN NANGGROE ACEH DARUSSALAM AND NORTH SUMATRA.

Article 1

Contributions made by Taxpayers for the purpose of humanitarian assistance for the natural disaster in Aceh Darussalam and North Sumatra that occurred in December 2004 may be charged as costs.

Article 2

The provisions needed for the implementation of this Regulation of the Minister of Finance shall be stipulated through Regulations of the Director General of Taxation.

Article 3

This Regulation of the Minister of Finance shall come into force on the date of its promulgation.

So that all persons may know of it, it is ordered that this Regulation of the Minister of Finance be announced through placement in the State Gazette (Berita Negara) of the Republic of Indonesia.

Promulgated in Jakarta on 28 December 2004
MINISTER OF FINANCE, REPUBLIC OF INDONESIA
signed
YUSUF ANWAR

Tuesday, December 28, 2004

Sumbangan ke Aceh, Deductable Expense

Menkeu Jusuf Anwar:
Sumbangan ke Aceh Bebas Pajak
Reporter: M. Budi Santosa

detikcom - Jakarta, Menkeu mengeluarkan Peraturan Menkeu yang menyatakan
sumbangan yang diberikan wajib pajak dalam rangka bantuan kemanusiaan
bencana alam di Aceh dan Sumut dapat dibiayakan. Dengan keputusan tersebut,
maka pajak yang semestinya dikeluarkan oleh wajib pajak akan ditanggung oleh
pemerintah.

Demikian disampaikan Menteru Keuangan Jusuf Anwar saat jumpa pers tentang
dikeluarkannya Peraturan Menkeu No 609/PMK.03/2004 di Gedung Depkeu, Jalan
Lapangan Banteng, Jakarta, Selasa (28/12/2004).

Menurut Menkeu, keputusan ini diambil agar semua pihak termasuk dunia usaha
tidak ragu-ragu lagi untuk memberikan sumbangannya karena sumbangan tersebut
tidak akan dikenai pajak.

Ditempat yang sama, Dirjen Pajak Hadi Purnomo menyebutkan, berdasarkan UU
perpajakan, bentuk sumbangan memang tidak diperkenankan bebas pajak. "Memang
dalam pasal 4 UU kita sumbangan tidak bisa dibiayakan. Memang tidak bebas
pajak, cuma dengan peraturan baru ini pajaknya ditanggung pemerintah," tegas
Hadi.

Hadi menjelaskan, dengan kebijakan baru ini diharapkan tidak akan mengganggu
besaran pencapaian target pajak pada APBN 2004. Berdasarkan data per 27
Desember, penerimaan perpajakan tinggak kurang Rp 6,5 triliun.

Sementara Menkeu menambahkan, Depkeu juga telah memobilisasi bantuan ke Aceh
dan Sumut dengan mengirimkan 5 kontainer mie instant dan 5 kontainer air
mineral disamping juga menggunakan hasil tangkapan bea cukai seperti 2000
bal pakaian. (qom)

Monday, December 27, 2004

Kadin Minta Pajak Penghasilan Turun

Let's see what will be happen .. ;)

------------------------------------
Kadin Minta Pajak Penghasilan Turun
-- Koran Tempo - 28-Dec-2004 --

JAKARTA – Para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri
(Kadin) Indonesia mendesak pemerintah menurunkan tarif pajak penghasilan
menjadi 25 persen. Permintaan itu terkait dengan ditariknya kembali
Rancangan Undang-Undang Pajak oleh Departemen Keuangan dari Sekretariat
Negara beberapa waktu lalu.

Termasuk dalam RUU Pajak itu adalah RUU Pajak Penghasilan, RUU Ketentuan
Umum Perpajakan, dan RUU Pajak Pertambahan Nilai. Menteri Keuangan Jusuf
Anwar ketika itu mengakui bahwa Menko Perekonomian Aburizal Bakrie meminta
sejumlah revisi dalam rancangan itu.

Dalam Amandemen RUU Pajak Penghasilan yang digodok pada masa pemerintahan
sebelumnya sudah ditetapkan tarif pajak penghasilan badan 28 persen. Tarif
ini merupakan tarif tunggal yang akan diturunkan selama lima tahun menjadi
25 persen.

Ketua Umum Kadin M.S. Hidayat mengatakan tarif tunggal agar diturunkan
sekaligus menjadi 25 persen, tidak bertahap lima tahun. Di sisi lain, basis
pajak ditambah agar penerimaan meningkat. “Di Singapura, pajak penghasilan
itu sudah 20 persen,” paparnya di Jakarta akhir pekan lalu.

Pada amandemen RUU Pajak yang dilakukan pemerintah sebelumnya, penerapan
tarif tunggal dibuat berdasarkan prinsip netralitas atas wajib pajak
perusahaan. Sebab, yang berlaku sekarang adalah tarif pajak berdasarkan
lapisan penghasilan. Pendapatan hingga Rp 50 Juta tarif pajaknya 10 persen,
penghasilan Rp 50 juta juta sampai Rp 100 juta sebesar 20 persen.
Berikutnya, tarif 30 persen untuk penghasilan perusahaan di atas Rp 100 juta
setahun.

Hidayat menilai, tarif pajak perusahaan 25 persen otomatis akan memicu
persaingan investasi dengan negara lain. “Pajak tidak sekedar penerimaan di
APBN, tapi juga stimulus bagi investasi,” kata dia.

Dia menolak usulan Kadin ini sebagai penolakan pengusaha terhadap tarif
pajak yang tinggi. “Usulan itu juga masukan dari konsultan kami,” katanya.

Dalam hal kelebihan atau kekurangan pembayaran pajak, Hidayat juga meminta
agar perhitungannya dilakukan pihak ketiga. Kesalahan hitung itu sebaiknya
diselesaikan bukan oleh petugas pajak. “Pengembaliannya pun jangan sampai
lebih dari satu tahun,” ujarnya .

Kadin juga meminta pemerintah memberi insentif fiskal untuk menarik
investasi migas. Menurut Dito Ganinduto, Wakil ketua Umum Energi dan
Resources Kadin, kemarin, insentif itu harus cepat untuk menaikkan produksi
migas.

Menurut dia, produksi migas dan gas semakin menurun. Produksi minyak,
misalnya, sudah turun dari 1,7 juta barel per hari pada 1997 menjadi 1,04
juta barel saat ini.

Kebijakan fiskal yang diminta Kadin diantaranya adalah pembebasan bea masuk
dan penangguhan PPN selama masa eksplorasi, dan pembebasan bea barang-barang
impor untuk kegiatan eksplorasi.

Di sisi lain, Kadin juga meminta Pertamina mengembangkan beberapa penemuan
minyak hasil eksplorasi yang masih tertunda lantaran tidak ada dana. Langkah
lain adalah dengan mengoptimalisasi lapangan-lapangan marginal, dan meminta
investor segera memulai kegiatan eksplorasi, termasuk di laut dalam dan
daerah perbatasan.

Kadin ketika dipimpin Aburizal Bakrie memang melibatkan pemerintah dalam
menyusun perubahan undang-undang. Mereka juga meminta pemerintah memberikan
pengampunan pajak untuk menarik uang orang Indonesia yang masih terparkir di
luar negeri. Ihwal pengampunan ini, Menkeu Jusuf Anwar memastikan akan
memasukkannya dalam salah satu pasal RUU Pajak.

Namun, menurut Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo, permintaan Kadin itu
masih dipertimbangkan. “Masuk akal atau tidak,” tuturnya kepada Tempo
kemarin.

Sementara itu, Ketua Tim Penyusun Rancangan Undang-Undang Perpajakan Robert
Pakpahan mengatakan, pembahasan revisi akan dilakukan pekan ini dengan
melibatkan berbagai pihak. “Kami akan menampung segala usaha.”

Tinjau ulang revisi Rancangan Undang-Undang Pajak direncanakan selesai pada
akhir Februari 2005. Pemerintah akan mengajukan kembali draf revisi itu ke
Sekretariat Negara sebelum diserahkan ke DPR. (bagja hidayat/muhamad
fasabeni)

Sunday, December 26, 2004

Perlakuan PPh atas stock option

www.bisnis.com Pajak & Bea Cukai, Senin, 27/12/2004

Perlakuan PPh atas stock option
Oleh : Rachmanto Surahmat.


Pemberian imbalan dalam rangka hubungan kerja yang seringkali meliputi
pemberian hak untuk membeli saham (stock option) merupakan satu paket yang
dibayar kepada baik para eksekutif maupun karyawan.
Yang dimaksud dengan "stock option" adalah hak untuk
membeli/memperoleh saham pada saat yang ditentukan dengan harga tertentu.

Perusahaan yang mempunyai program ini (sering disebut ESOP - Employee
Stock Option Plan), memberikan hak opsi kepada karyawannya dengan beberapa
syarat, seperti "vesting period". Vesting period adalah saat kapan opsi
tersebut dapat dilaksanakan karena semua persyaratan untuk melaksanakan opsi
sudah dipenuhi.

Saham yang dijadikan objek dalam rangka stock option biasanya saham
perusahaan itu sendiri, tetapi dapat juga saham dari perusahaan lain
(misalnya perusahaan afiliasi).

Di samping itu, yang memberikan opsi bisa perusahaan dimana karyawan
bekerja, atau perusahaan afiliasinya atau intermediari seperti misalnya
"trust".

Pada saat opsi dilaksanakan karyawan membeli saham yang dimasukkan
dalam program stock option dengan harga di bawah harga pasar.

Dalam hal ini, keuntungan atau manfaat yang diperoleh karyawan adalah
perbedaan antara harga pasar dan harga yang dibayar. Pada tahap ini,
keuntungan tersebut belum direalisasi.

Jika setelah beberapa waktu saham tersebut dijual dan jika harganya
naik, maka keuntungan dari saham tersebut sudah direalisasikan. Syarat utama
dalam kaitannya dengan program stock option adalah karyawan harus tetap
bekerja dalam suatu kurun waktu tertentu.

Bagaimana perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) atas stock option
tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu disimak masalah-masalah yang
berkaitan dengan hal tersebut yaitu: i) kapan opsi tersebut diberikan; ii)
kapan suatu opsi sudah memenuhi syarat untuk dilaksanakan; iii) kapan opsi
dilaksanakan; dan iv) kapan saham yang diperoleh melalui opsi tersebut dapat
dijual.

Di samping itu, untuk menjawab pertanyaan tersebut harus disimak juga
ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Analisis yang disajikan dalam tulisan ini dilengkapi dengan situasi
yang melibatkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B), dalam hal
pemberian hak opsi ini bersifat lintas batas.

Pertanyaan yang lebih penting dalam kaitannya dengan UU Pajak
Penghasilan adalah apakah UU tersebut sudah cukup lengkap mengatur perlakuan
pajak atas hak opsi tersebut.

Pajak penghasilan

Secara sekilas tampak pemberian hak untuk membeli saham adalah dalam
rangka hubungan kerja. Atas dasar hal itu, pelunasan pajak yang terutang
tunduk kepada ketentuan Pasal 21.

Namun, analisis yang berkaitan dengan perlakuan PPh atas hak opsi ini
perlu dilakukan lebih luas karena implikasi pajaknya tidak terbatas pada
perlakuan pajak atas imbalan saja.

Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan
menyebutkan bahwa "penghasilan" termasuk penggantian atau imbalan berkenaan
dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah,
tunjangan, honorarium; komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun; atau
imbalan dalam bentuk lainnya.

Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa semua jenis imbalan berkaitan
dengan hubungan kerja masuk dalam kategori "penghasilan". "Imbalan dalam
bentuk lainnya" sebagaimana yang disebutkan di atas mengandung pengertian
imbalan dalam bentuk natura seperti misalnya perawatan kesehatan, penyediaan
transportasi atau penyediaan tempat tinggal.

Dari sudut pandang UU PPh, pada saat seorang karyawan melaksanakan
opsi yang diberikannya, belum timbul kewajiban pajaknya karena karyawan
tersebut membeli saham dengan tingkat harga tertentu.

Seandainya harga beli saham tersebut dibawah harga pasar namun
perbedaan tersebut juga belum merupakan penghasilan bagi karyawan tersebut
karena belum direalisasi, yaitu sahamnya belum dijual.

Jika saham tersebut kemudian dijual perlakuan pajaknya tergantung
kepada saham tersebut, yaitu apabila saham tersebut adalah saham perusahaan
yang terdaftar di pasar modal PPh yang terutang dari penjualan tersebut
dikenai PPh final.

Sebaliknya jika saham tersebut adalah saham perseroan terbatas biasa,
keuntungan penjualan saham itu dikenai PPh sesuai dengan Pasal 17 UU PPh,
jika yang memperolehnya adalah wajib pajak dalam negeri.

Perlakuan pajak tersebut diterapkan terhadap karyawan sebagai subjek
pajak dalam negeri dan sahamnya adalah saham perseroan terbatas yang
didirikan di Indonesia.

Dalam hal pemberian stock option melibatkan subjek pajak dari negara
lain yang mempunyai P3B dengan Indonesia, perlakuan pajaknya akan ditentukan
dengan mempertimbangkan P3B yang bersangkutan.

Pekan depan akan disajikan contoh kasus mengenai stock option yang
melibatkan seorang pekerja di Italia yang sedang dikirimkan ke Indonesia
untuk mengerjakan proyek perusahaan Italia itu selama delapan bulan.

Oleh Rachmanto Surahmat
Partner
Prasetio, Sarwoko & Sandjaja Consult

About Me

a little bit about me

Thursday, December 23, 2004

Restitusi PPN di Indonesia

Artikel ini diambil dari www.fiskal.depkeu.go.id.

STUDI PELAKSANAAN RESTITUSI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)DI INDONESIA
Oleh : Tri Wibowo

Rekomendasi
1.. Adanya perbedaan interpretasi peraturan antara WP dengan petugas pajaksangat menghambat proses restitusi dan berpotensi merugikan WP maupunNegara. Untuk itu diperlukan peraturan berupa Surat Edaran atau PetunjukPelaksanaan dengan bahasa yang jelas dan tegas agar setiap KPP mempunyaipersepsi yang sama dalam menjabarkan Kep. Dirjen Pajak No. 754/PJ/2001.
2.. Program sosialisasi yang dicanangkan oleh DJP terutama denganpenyuluhan perlu adanya peninjauan kembali karena kurang mendapat respondari WP. WP lebih merasa “dimarahi” daripada diberikan penyuluhan. Perlupeningkatan SDM khususnya yang menangani situs peraturan perpajakan milikDitjen Pajak, sehingga peraturan yang ada selalu “up to date”. WP maupunkonsultan pajak merasakan situs Ditjen Pajak tertinggal dibanding situsswasta dalam menyediakan informasi peraturan perpajakan yang baru.
3.. Sistem on line yang sudah ada hendaknya lebih dioptimalkan sehinggapelaksanaan konfirmasi dapat dipercepat dan tidak memerlukan waktu yanglama.
4.. Penerapan sanksi hendaknya tidak saja diberlakukan kepada WP, tetapijuga kepada aparat pajak atas keterlambatan dalam penyelesaian prosesrestitusi PPN.

Permasalahan
1..Implementasi restitusi PPN dikaitkan dengan ketentuan perundangan yangberlaku
2..Faktor-faktor yang menghambat implementasi restitusi PPN, sehinggadapat merugikan WP maupun penerimaan Negara.
3..Sistem pengelolaan restitusi PPN masih berpotensi munculnya moralhazard yang dilakukan WP maupun petugas pajak

Tujuan
1.. Menganalisis permasalahan proses dan prosedur restitusi PPNdibandingkan peraturan yang berlaku
2.. Menganalisis permasalahan proses dan prosedur restitusi PPN melaluipenggalian informasi pihak-pihak terkait
3.. Memberikan rekomendasi kebijakan yang berkaitan dengan perbaikanproses dan prosedur restitusi PPN

Metodologi Penelitian
Metode penelitian dilaksanakan dengan cara Focus Group Discussion (FGD) danwawancara dengan berbagai pihak terkait dengan masalah perpajakan.
Responden dalam penelitian terdiri dari : wajib pajak/pengusaha kena pajak,Petugas pajak dari Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan Pajak, Konsultanpajak.

Lokus penelitian adalah :
1.. Jakarta dan sekitarnya (dilaksanakan oleh LPEM-FE UI);
2.. Bandung dan sekitarnya (dilaksanakan oleh FE, UNPAD)
3.. Semarang dan sekitranya (dilaksanakan oleh FE, UNDIP)
4.. Surabaya dan sekitarnya (dilaksanakan oleh FE, UNAIR)

Temuan
1. Proses Pengajuan
- Baik WP maupun KPP menyatakan pengajuan restitusi PPN relatif mudah
- Pengajuan dilakukan dengan mengisi SP masa PPN atau dengan surat tersendiri
- Terdapat WP yang mengajukan surat tersendiri, diajukan kepadaKepala KPP, agar lebih mendapat perhatian
- Terdapat WP yang menyatakan bahwa petugas KPP sengaja meminta WP untuk mengosongkan tanggal permohonan, dugaan WP agar KPP mempunyaikelonggaran waktu
- Umumnya WP belum menyertakan dokumen dan bukti-bukti yangdiperlukan pada saat pengajuan restitusi- Bila pengajuan sudah diterima, KPP akan mengeluarkan SP3, sertasurat permintaan kelengkapan dokumen dan bukti-bukti
- Terdapat juga WP yang menyatakan SP3 belum diberikan, tetapipetugas sudah meminta dokumen pemeriksaan
2. Proses Pemeriksaan
- Umumnya yang melakukan pemeriksaan adalah KPP, bila pemeriksanan akhirtahun buku sering dilakukan oleh Karikpa atau Kanwil bersamaan denganpemeriksaan all taxes.
- Jangka waktu pemeriksaan tergantung dari skala usaha WP dan jumlahfaktur pajak yang dilampirkan.
- Untuk menjaga kehati-hatian dalam pengembalian kelebihan pajak danmencegah terjadinya restitusi PPN fiktif, pemeriksa perlu meminta dokumenlain seperti SPT PPh Badan WP (SE-53/PJ.52/2002).
- WP tidak melihat keterkaitan langsung dokumen lain dengan prosesrestitusi PPN.
- Saat diterima permohonan, adalah saat permohonan dinyatakan lengkap(pasal 1 ayat 2, KEP-160/PJ/2001). Bila petugas pajak tidak menyatakandokumen lengkap dan terus meminta dokumen, akan memperlama proses restitusi
- Terdapat WP yang menyatakan kehilangan dokumen saat dipinjam olehpemeriksa, hal ini kemungkinan akibat sistem filling dokumen di KPP yangbelum terstruktur.
- Baik WP maupun KPP menyatakan bahwa umumnya closing conference telahsesuai prosedur.
- Baik WP, KPP, maupun konsultan pajak menyatakan bahwa proses konfirmasi dan klarifikasi merupakan proses yang paling memakan waktu dalam restitusiPPN.
- Dengan adanya Sistem Informasi Perpajakan (SIP) konfirmasi antar KPPmenjadi lebih cepat, karena PK-PM sadah direkam. Dalam implementasinyapemanfaatan belum optimal, 10 – 25 % konfirmasi SIP masih harus dilakukanklarifikasi.
- Data PK-PM yang belum, terlambat, atau salah rekam antara lain karenabeberapa KPP tidak ada operator khusus yang bertugas merekam PK-PM. Pemeriksan secara bergilir bertugas menjadi perekam PK-PM.
- Terdapat WP yang menyatakan untuk perekaman PK-PM, KPP menggunakantenaga honorer.
- Terdapat juga responden KPP yang mempunyai operator khusus untuk PK-PM pada seksi PPN.
- Terdapat KPP yang overload dengan masalah restitusi PPN (terutama PKPeksportir) ada juga KPP yang tidak kelebihan beban, tetapi jumlahpemeriksanya pajak di seksi PPN relatif sama.
- Responden KPP mengeluhkan sulitnya akses ke intranet pada waktu tanggalsibuk (tanggal 20 an) yang merupakan batas akhir pelaporan SPT Masa PPN.
- Terapat WP yang mengeluhkan tidak semua KPP menerapkan SIP, adanya KPPyang belum on-line menyebabkan proses konfirmasi PK-PM harus dilakukankonfirmasi manual dan klarifikasi.
- Untuk WP eksportir, perlu dilakukan konfirmasi Pemberitahuan ImportBarang (PIB) dan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB). Konfirmasi PIB dan PEBke Dirjen BC memakan waktu cukup lama.
- Menurut KPP, konfirmasi PIB dan PEB dilakukan secara manual (prinsipkehati-hatian berkaitan dengan kasus ekspor fiktif).
- Sistem konfirmasi dengan SIP dinilai WP sudah cukup baik, tetapipemanfaatannya belum optimal.
- Koreksi faktur PM sering terjadi karena tidak berhubungan langsungdengan kegiatan usaha. WP dan KPP sering mempunyai intrepretasi yangberbeda tentang pengertian mengenai berhubungan langsung dengan kegiatan tersebut.

3. Proses Pembayaran
- Sesuai KEP-160/PJ/2001, Surat ketetapan pajak harus diterbitkanpaling lambat 2 bulan sejak diterima permohonan (tidak semua jenis pajak),atau 12 bulan sejak diterima permohonan apabila pemeriksaan untuk semuajenis pajak.
- WP menilai tidak jelas awal perhitungan jangka waktu, apa dilihatdari diterima permoohonan atau sejak dokumen dinyatakan lengkap. Apabiladari dokumen dinyatakan lengkap, maka akan tergantung dari petugas pemeriksa.
- Secara umum KPP menyatakan dapat memenuhi waktu yang ditetapkan,baik untuk 2 bualn maupun 12 bulan.- Ketentuan 2 bulan tersebut menurut WP tidak selalu terpenuhi,bahkan ada yang sampai memakan waktu 8 bulan.
4. Keberatan dan Banding
- Dalam proses keberatan, tidak ada pembahasan akhir, WP hanyadapat menerima semua keputusan DJP. Menurut WP, hasil keputusan keberatanyang diterima umumnya berupa penolakan atas permohonan keberatan
- Dalam penerapannya, hanya sedikit responden yang mengajukanbanding untuk restitusi PPN.
- Responden WP merasa bahwa proses banding di Pengadilan Pajak (PP)lebih adil daripada proses keberatan.
- Hampir semua responden WP menyatakan memenangkan keputusanbanding di PP. Menurut responden, PP lebih mempertimbangkan hukum daripadaformalitas peraturan.
- Menurut WP, petugas pemeriksa tidak dihadirkan dalam prosesbanding, tetapi diwakili oleh antor pusat atau Kanwil. WP tidak melihatadanya ”punishment” untuk pemeriksa yang bersangkutan.

5. Faktor Lain Berkaitan Dengan Restitusi PPN
a. Denda imbalan bunga
- Beberapa responden yang mengalami keterlambatan penerbitan SKPLBhingga 1,5 sampai 2 tahun dengan alasan kesulitan kas negara, namun tidakmendapatkan imbalan bunga meski sudah mengirimkan surat permohonan.
b. SDM
- Menurut WP yang termasuk dalam LTO (large taxpayers office), komptensipetugas di LTO sudah baik, sudah ada Account Representatif (AR) sebagaicontact person yang menangani WP secara khusus, memberikan informasi danmenjawa permasalahn WP.
- Berdasarkan KPP, mutasi pegawai dilakukan dalam kurun waktu 2-3 tahunberdasarkan DP3 wewenang kepegawaian, tidak ada reward yang diterimapetugas pajak bila mempunyai performance yang baik, hal ini juga dikemukakanoleh konsultan pajak dan WP.
- WP memandang perlu adanya penilaian terhadap sikap petugas, baik dariatasan maupun dari WP sendiri.
- Jika ada pelanggaran pelanggaran oleh petugas, umumnya WP tidakmelaporkan. Ada juga WP yang berani untuk melaporkan oknum tersebut keKanwil atau kantor pusat, WP merasa tidak efektif melaporkan ke atasan langsung di KPP.

c. Sosialisasi Peraturan
- WP menilai bahwa sosialisasi dari DJP terhadap WP masih kurang danterlambat, WP mencari peraturan baru dari sumber diluar DJP seperti businessnews.
- Peraturan yang dimuat dalam website resmi DJP terlambat diperbarui.

d. ”Imbalan”
- Beberapa responden WP menyatakan besarnya ”imbalan” berkisar 10 – 20 %dari nilai restitusi. Tetapi jika nilai restitusi besar, maka jumlah ”imbalan” berkisar 2- 2,5 % atau nilai nominal
- Menurut responden WP, bila cost of money lebih besar daripada“imbalan” maka imbalan tersebut diberikan. Adanya ”imbalan” akan mempercepatproses restitusi.
- Proses pemberian ”imbalan” sulit dilacak, WP tidak mau melaporkan padaatasan oknum pajak. Beberapa WP menyatakan berusaha menjaga hubungan baik,terutama WP yang rutin mengajukan restitusi.
- WP yang memberikan ”imbalan” umumnya yang membutuhkan cashflow cepat,kurang mengerti peraturan, dan dokumentasi kurang baik
- Pemberian ”imbalan” tergantung kebijakan perusahaan. Misalnya perusahaan asing dari Amerika melarang memberikan ”imbalan”.